Total Tayangan Halaman

24/05/12

Chaos

Gadis berambut secerah mentari itu duduk
menghadapi tumpukan dokumen. Jemari
lentiknya membalik tiap lembarnya demi
menelusuri tiap fragmen. Sesekali sepasang
gendewa miliknya bertaut manakala mendapati
sejumlah fakta yang tak koheren . Tak seberapa
jauh darinya, rekannya menelungkupkan wajah
di atas meja dengan indolen.
"Oi, sudah belum?" tanya pemuda itu sedikit tak
sabar.
"Sebentar lagi, Shika. Ada begitu banyak hal yang
belum kupahami soal materi ini," gumam si
cantik bermata biru itu pada rekannya.
Pemuda bermata legam itu menguap,
membiarkan Ino—gadis pirang itu—tenggelam di
antara tumpukan dokumen yang baginya terasa
merepotkan. Mereka sudah berada di sini sejak
pukul sembilan. Namun gadis itu masih saja
bertahan. Sungguh, terkadang resistensi seorang
wanita membuat Shikamaru terheran-heran.
Misalnya dalam hal membaca fakta sejarah yang
sungguh membosankan.
Ugh, andai saja Shikamaru bisa sedikit lebih
memahami, Ino juga tak sudi lama-lama
'bercinta' dengan dokumen ini. Jika bukan karena
guru sejarah mereka, Ino akan memilih pergi
berbelanja atau uhukkencanuhuk dengan Sasuke
sebagai preferensi.
Guru sejarah—dengan rambut berkilau ala gadis
Sansilk-nya—memberinya sebuah tugas yang
kata Shikamaru merepotkan. Tapi tugas ini
memang harus ia kerjakan jika ingin
mengkonversi nilai tiga dalam pelajaran
sejarahnya menjadi angka delapan. Hyuuga-
sensei memang hanya memintanya
mempresentasikan materi tentang Jepang pasca
Pertempuran Okinawa yang berakhir dengan
sebuah kekalahan.
Terdengar sepele andaikata Pak Guru gondrong
itu mengijinkannya menggunakan metode
konvensional.
Ino menggigit bibirnya perlahan. Tak terhitung
lagi berapa kali ia hendak meremas rambutnya
dengan gemas andai tak ingat berapa biaya
perawatan rambut yang nanti harus dikeluarkan.
Sebagai gantinya, ia hanya menggenggam
pulpen yang sebentar lagi pun akan remuk tak
beraturan.
"Belum beres juga?"
Suara dingin campur arogan tapi sebenarnya
merepresentasi perhatian dilontarkan pemuda
yang tak diragukan lagi memiliki anggaran
khusus untuk gel rambutnya. Pemuda bermata
selegam pantat panci itu melangkahkan kaki
mendekati gadis Yamanaka. Ia melipat tangannya
di depan dada meski sebenarnya sudah sangat
ingin membelai surai pirang di hadapannya.
Salahkan saja pemuda jelmaan koala yang
keberadaannya membuat pemuda jabrik itu
merasa perlu menjaga image-nya.
Uchiha Sasuke—nama pemuda jabrik bermata
selegam pantat panci itu—adalah pacar Ino.
Fangirls-nya memuja pemuda itu karena
kecemerlangan otaknya dan wajahnya yang bak
Dewa Apollo. Ia adalah putra Uchiha Fugaku,
pemilik pabrik elektronik terbesar di daerah Kantō.
"Pusing." Gadis itu mengeluh, memijat pelipisnya
bak tokoh utama telenovela yang bingung harus
memilih Joaquin atau Alejandro. Peluangnya
memperbaiki nilai sejarahnya sudah sama
tipisnya seperti frekuensi harapan melihat Sasuke
goyang poco-poco. Hah, memang tidak
nyambung—dan tidak mungkin terjadi kecuali
Sasuke tiba-tiba makan keong racun—tapi itulah
yang tengah menari-nari di kepala Ino.
"Memangnya presentasinya soal apa sih?" tanya
Sasuke sembari duduk di antara Ino dan
Shikamaru yang sibuk berpetualang di dunia
utopia. Satu tangannya ia jatuhkan di atas tangan
kiri Ino sembari menanti jawaban darinya.
Wajahnya tetap terlihat (sangat) tenang meski
hatinya tengah menari-nari dengan background
pelangi sembari berteriak-teriak kegirangan, "Yes!
Gue berhasil megang tangan Ino tanpa keliatan
OOC."
Taktik yang sungguh awesome, Sasuke.
"Di sekolahku dulu tidak ada pelajaran seperti ini.
Aku tak pernah mengira, sejarah Jepang ternyata
semerepotkan ini." Ino sedikit mengutip kata-kata
sahabatnya.
"Lalu, cara seperti apa yang akan kaugunakan
untuk presentasi nanti?" tanya Sasuke.
Ino mendesah pelan, sedikit gemas melihat
Sasuke yang bukannya membantu tapi justru
membuatnya makin penat. Untuk apa ia masih
berkutat di perpustakaan jika ia sudah punya
metode yang tepat? Ugh, untuk urusan sejarah
logikanya memang betul-betul mampat.
"Ino-butachan..." Tanpa menoleh pun Ino tahu
suara (kelewat) riang itu pastilah milik temannya
yang berambut merah jambu. Ia mendekati Ino
setelah memasang cengiran dengan
mengacungkan jari telunjuk dan jari tengah
sebagai tanda damai dengan penghuni
perpustakaan yang rata-rata memang kutu buku.
Sakura merangkul gadis pirang itu, mengabaikan
Sasuke yang mendelik karena kesempatannya
memeluk Ino sudah diserobot si mata hijau.
"Berisik, Forehead." Ino menunjuk Shikamaru
yang merasa tidurnya diinterupsi sebelum ia
mendapatkan ciuman dari Temari—dalam mimpi
tentu saja.
Sekali lagi Sakura membentuk tanda peace
dengan kedua jari ke arah pemuda yang baru
terbangun dari mimpi. Ia masih merangkul bahu
Ino yang seakan memberi fan service bagi
penggemar yuri. Sakura tak peduli. Setengah
menarik tangan Ino, ia berkata, "Ayo, pergi. Luis
Vuitton sale hari ini!"
"Tidak bisa," sergah Sasuke, "Ino harus
menyelesaikan tugas remedial sejarah dari
Hyuuga-sensei." 'Dan harus kencan denganku
setelah tugasnya selesai.'
"Tinggal dikerjakan saja, kan? Apa susahnya sih?
Kan masih bisa dikerjakan nanti. Ayolah," bujuk
Sakura.
DafuQ did I just hear?
"Susah, Forehead. Susaah~" ungkap Ino mulai
OOC. "Kau kan tahu separah apa pengetahuan
sejarahku. Di US, aku tidak belajar materi seperti
ini. Belum lagi, Hyuuga-sensei menolak metode
konvensional dalam presentasiku."
"Minta bantuan Hinata saja kalau begitu. Dia kan
anak Hyuuga-sensei dan memang pintar dalam
pelajaran sejarah," usul Sakura. "Aku pulang dulu
kalau begitu. Aku harus cepat-cepat ke boutique
sebelum drama favoritku ditayangkan jam empat
nanti!"
Lingkar sewarna lazuardi milik Ino membulat. Ia
menahan lengan Sakura yang sudah akan
berjingkat. Oh, sepertinya Sasuke memang tak
bisa meremehkan kegigihan seorang wanita
yang akan memburu sale dengan semangat.
Mungkin ia memang harus bertindak cepat kalau
tidak ingin ...
"Ada apa? Mau nitip, Pig?" tanya Sakura. Insert
senyum kemenangan dengan dugaan Ino akan
meninggalkan tugas demi berburu busana dan
pernak-pernik bersamanya.
"Kau jenius, Forehead! Pacaran sama Naruto
ternyata membuatmu jenius!" puji Ino.
Sasuke mendelik tak setuju dengan ucapan Ino.
Seingatnya Sakura tak mengatakan apapun yang
terdengar 'wow'. Seandainya iya pun, pasti tak
ada sangkut pautnya dengan Baka-Dobe Naruto.
Matanya melirik Sakura yang tengah melongo.
"Hohoho ... aku memang sudah jenius dari dulu,
Pig. Kau saja yang baru menyadari. Hahaha..."
Sakura tertawa. Tak masalah jika ia tak mengerti
ucapan sahabatnya. Jarang-jarang Ino
memujinya, jadi apa salahnya jika ia
menikmatinya.
Sakura tak pernah menyadari, kejeniusannya
telah menyeret dirinya dan teman-temannya ke
dalam sebuah malapetaka.
.
.
.
Zaman dahulu kala, ada seorang pangeran yang
sedang mencari cinta. Beribu gadis mendekati,
tetapi hati sang pangeran hanya tertambat pada
gadis di seberang benua. Bak kuncup sakura
yang merekah dengan sempurna, gadis itu pun
memiliki perasaan yang sama. Gadis itu rela
menyeberangi lautan demi bersama pangeran
tercintanya. Tapi semua berubah ketika Negara
Api menyerang Konoha.
Alis bak ulat bulu milik Lee bertaut dengan
sempurna. Pemuda yang didaulat menjadi
sutradara dadakan itu mengacungkan jempol
pada pemuda berambut dirty blonde di
hadapannya. Oh, ya, jangan lupakan senyum ala
bintang iklan pasta gigi yang menyilaukan mata.
Naruto mengepalkan tangan ke depan dada. Pose
ala succes kid yang diconteknya dari sebuah situs
humor dari Amerika. Tapi senyum lima jarinya
tak bertahan lama ketika kepala kuning
kesayangan (dan satu-satunya) dijitak si bungsu
Uchiha.
"Baka! Dramanya tentang keadaan pasca
kekalahan Jepang di Pertempuran Okinawa pada
tahun 1945," ujar Sasuke.
"Nanti gampang kok diarahkan ke sana. Kata
Sakura-chan, yang penting ada romance-nya.
Kan bagus sekalian mengeratkan hubungan
kalian berdua," kata Naruto dengan wajah (sok)
polos tanpa dosa padahal dalam hatinya sudah
sangat ingin melihat Sasuke merayu wanita
dengan kata-kata super manis bak
monosakarida.
"Benar, Sasuke. Aku yakin pacarmu akan
mendapat nilai tinggi. Drama itu tontonan yang
menarik, lho. Buktinya drama Kupinang Kau
dengan Biskuat memperoleh rating tinggi dalam
setiap episodenya," tambah Sakura.
Oh, terkadang Sasuke melupakan sebuah fakta.
Wanita dan drama adalah sahabat sejati yang
gemar membuat laki-laki mau tak mau
menurunkan harga diri mereka. Terkutuklah
drama sialan yang membuat Sakura nyaris
menggiringnya menjadi aktor telenovela.
Untung saja baru nyaris, karena Hinata dan Gaara
datang untuk menyelamatkan harga diri keluarga
Uchiha.
Kekalahan beruntun yang dialami Jepang
membuat Kantaro Suzuki larut dalam dilema. Tak
ada jalan jalain kecuali menyerah tanpa syarat
sebelum sekutu menyerang dengan tambahan
partisipasi pasukan Rusia. Di sisi lain, syarat
kapitulasi Jepang yang tertuang dalam Deklarasi
Postdam terasa tak adil bagi mereka. Ia yakin
pihak Sekutu—terutama Amerika—sangat
berambisi membawa Jepang berada di bawah
intervensinya. Bagi Amerika, Jepang bisa menjadi
aktiva berharga untuk melawan musuh masa
depan mereka, Rusia.
"Kami membaginya menjadi empat babak. Babak
pertama adalah saat-saat awal kekalahan Jepang
dari Allied Force. Babak kedua menjelaskan
tentang kesalahpahaman Amerika terhadap
kebijakan mokusatsu yang menyebabkan
Amerika menjatuhkan bom atom di Hiroshima
dan Nagasaki. Babak ketiga intervensi Amerika
dan Restorasi Showa. Babak terakhir adalah
gambaran Jepang pasca Restorasi Showa."
Hinata menjelaskan sinopsis naskah dramanya
tanpa terbata. Gadis yang terkenal pemalu itu
baru terlihat gugup saat semua mata
memandangnya.
"A-ada apa?" Ia sedikit meremas ujung jaket
panda merah—coret—Gaara. Sebagai pacar yang
oportunis, Gaara justru memanfaatkan
kegugupan Hinata untuk merangkul bahu
kekasihnya. Mengusapnya, memberi sedikit
ketenangan untuk Hinata.
Ino memandanginya dengan sejumput
kekaguman yang terefleksi dari manik sewarna
lazuardi. Ia melompat, memeluk gadis yang
bahkan masih berada dalam rangkulan panda
mini. Gadis berambut indigo itu tak bereaksi,
setengah tak mengerti.
"Sugoi! Aku suka. Dramanya sejarah banget!"
pekik Ino kegirangan.
Sasuke seiya sekata dengan gadis Yamanaka. Ini
baru drama! Itulah yang diteriakkan hatinya. Yah,
setidaknya ia tak akan berperan sebagai pangeran
telenovela pemuja cinta. Bagi Sasuke, kisah
romansanya terlalu eksklusif sehingga hanya
cocok dinikmati berdua saja. Cukup Ino saja
yang tahu bahwa dirinya yang terkenal dingin
seperti kutub utara nyatanya juga gemar
menebar seduktif yang membuat gadisnya
merona.
"Ta-tapi peran yang dibutuhkan kebanyakan laki-
laki." Hinata terlihat sedikit ragu.
"Tidak apa-apa, Hinata. Tidak apa-apa..." Ino
menepuk-nepuk bahu putri guru sejarahnya.
Yah, mungkin akan ada properti tambahan untuk
keperluan crossdressing dalam drama. Tapi tak
mengapa. Itu bukan hal yang sulit baginya.
Karena masalah utamanya terletak pada
penguasaan materi sejarahnya. Dan masalah itu
nyatanya telah berhasil ditangani Hinata. Hanya
tinggal merealisasi naskah ini dengan sebuah
karya yang memesona.
.
.
.
Sasuke memerhatikan penampilan barunya di
depan kaca. Tak ada kemeja Konoha Gakuen atau
T-Shirt yang membalut raga. Yang ada hanyalah
setelan jas berwarna gelap sebagai busana.
Tambahkan kumis tebal—tentu saja palsu—di
atas bibirnya. Terakhir adalah kacamata bulat
yang bertengger dengan manisnya.
Penampilannya yang (sangat) un-Uchiha itu
masih dikatakan normal jika menilik kabar surai
legam miliknya.
Sungguh, siapapun akan sangat menghargai
usaha Temari yang mati-matian menahan tawa.
Kakak Gaara ini memang didaulat menjadi penata
rias dalam film dokumenter yang bergenre
historical dan drama. Gadis yang tengah diincar
Shikamaru ini merasa terhormat menjadi orang
pertama yang melihat penampilan minim rambut
sang Uchiha.
"Kau terlihat err ... berbeda dari biasanya, Uchiha-
san," komentar Temari.
"Hn..." Sasuke hanya menggumam.
'FFUUU...'
Mungkin kata tanpa makna tak jelas itulah yang
sebenarnya lebih mewakili hati Sasuke yang
sudah sangat ingin membanting meja atau
sekedar menjeduk-jedukkan kepala.
"Sasuke~" Ino menyerobot masuk, setengah
ingin memamerkan seragam militer lengkap
dengan topi sesuai dengan perannya sebagai
seorang jenderal yang mewakili Amerika
menduduki Jepang.
Tak jauh berbeda dengan respon Temari, gadis
itu terpana. Manik kebiruannya menatap Sasuke
dari ujung kaki hingga ujung kepala. Tak sampai
lima detik, gadis itu tertawa.
"Hahaha ... Sasuke-kun~ lucu deh. Kebapakan
banget!" ujarnya dengan wajah berseri-seri.
"Hn ... Sudah, ayo kita mulai shooting-nya,"
tukas Sasuke mati-matian menjaga image cool-
nya.
Masih dengan setengah tertawa, pasangan itu
melangkahkan kaki menghampiri teman-teman
mereka yang sudah menanti. Reaksinya takkan
berbeda dengan Ino dan Temari andaikata
pemuda Uchiha itu tak lebih dulu melempar
death glare yang meredam nyali.
"Kau terlihat keren tanpa rambut landakmu,
Uchiha." Gaara—satu-satunya oknum yang masa
bodoh dengan death glare Sasuke—
berkomentar. Sungguh, Sasuke bisa merasakan
aksentuasi bermakna ejekan dari sintagma yang
terlontar. Sungguh, jika saja situasinya tak
serumit ini, minimal tangkai sapu di dekat
pintulah yang akan ia lempar.
"Yosh! Semuanya bersiap, ya~" Lee memberikan
komando dengan semangat masa muda yang
benar-benar membara.
Babak 1
Pemuda itu memaksakan diri merangkak ke balik
batu. Iris cokelatnya memindai dengan cepat
posisi Tentara Sekutu. Ia tak mengindahkan likuid
pekat yang menodai baju. Yang dilakukannya
hanyalah mata yang mengintai dengan jemari
yang siap menarik picu. Mencari sasaran yang
tepat sebelum memuntahkan peluru.
Dor! Dor!
Boom! Boom!
Desingan peluru berpadu dengan dentuman
keras di segala arah. Napas pemuda itu semakin
terengah-engah. Tetapi di pertempuran terakhir
ini, pemuda ini tak ingin menyerah. Pasukan
musuh itulah yang harus pulang dengan status
kalah. Sebuah harapan yang harus terwujud jika
tak ingin harga diri bangsanya terjajah.
Dengung Pasukan Kamikaze turut berpartisipasi
dari udara. Pemuda itu tahu, tak butuh waktu
lama bagi pasukan itu untuk menabrakkan diri
pada kapal-kapal destroyer milik Amerika.
Memang terkesan gila, tapi itulah satu-satunya
cara jika mereka ingin menjaga peluang untuk
menang dari pihak musuh yang semakin lama
semakin kuat saja.
Pemuda itu tahu pemerintahnya tengah
memikirkan kemungkinan untuk
menandatangani kapitulasi. Tapi menandatangani
kapitulasi tanpa bekal sebuah kemenangan di
tangan justru berpotensi membuat bangsanya
merugi. Karena itu, sebuah kemenangan adalah
harga mati.
Dentuman besar kembali terdengar dari sisi barat
daya. Sepertinya pesawat-pesawat itu telah
menghantam kapal-kapal perang milik musuh
mereka. Tak mau ketinggalan dari rekannya,
pemuda itu mengangkat senjata. Menarik
pelatuknya dan mengarahkannya pada Tentara
Sekutu yang terlihat oleh mata.
Dor! Dor! Dor!
Butir-butir timah panas menghujani tubuh sang
pemuda. Seorang pemuda lain dengan mata
sebiru samudra menyeringai puas melihatnya.
Sungguhpun ia mengagumi semangat tempur
bangsa Asia, tapi Jepang memang tengah berada
di titik nadirnya.
Tak mau berlama-lama, pemuda dari Angkatan
Darat Amerika Serikat itu kembali menarik picu.
Mengedarkan matanya untuk mencari mangsa
baru. Karena di tanah Asia inilah, bangsanya akan
menancapkan kuku.
.
.
.
Dua orang pemuda duduk di bawah pohon
angsana yang terletak di halaman barak tentara.
Seorang tengah mengecek kondisi laras
panjangnya sementara rekannya terlihat tengah
memasang sangkur di ujung senjata. Keduanya
terlihat berbicara kendati tangan sibuk bekerja.
"Aku tak percaya, pertempuran di Okinawa itu
tak berhasil kita menangkan." Pemuda bermata
hijau dengan jidat lebarnya yang sedikit mengilap
akibat keringat terlihat mengajak rekannya
berbicara, "Cih, padahal selama ini tak sekalipun
Pasukan Kamikaze menderita kekalahan. Sayang
kita tak ditugaskan ke sana saat itu."
"Ka-karena tugas kita memang untuk
mengamankan Tokyo. Siapa yang tahu kalau
tiba-tiba Tentara Sekutu menyerang wilayah ini? "
Rekannya yang bermata lila—dengan aksennya
yang terdengar sedikit feminin—menimpali.
"Memang kurang ajar Sekutu itu!" Pemuda
bermata hijau itu mengangkat senapannya
dengan semangat membara.
"Tapi kita memang tak punya banyak pilihan,
Saku ... Sakumoto-san. Meskipun Korechika
Anami-sama bersikeras untuk melawan,
keselamatan rakyatlah yang menjadi taruhan."
Pemuda bermata ungu itu meletakkan
senjatanya, "Ku-kudengar Uni Soviet menolak
pembaharuan Pakta Netralitas. Jika kita menolak
untuk berdamai, ku-kurasa mereka akan segera
mengambil tindakan."
"Hei, setidaknya perjanjian itu masih berlaku
sampai tahun depan, kan?" Pemuda bermata
hijau itu terlihat berpikir, "Ugh, tak bisa
kubayangkan kalau Uni Soviet ternyata juga
berniat menyerang."
Rekannya tak memberi jawaban. Pemuda itu
menggigit bibir bawahnya, seakan merasa sedikit
sesak akibat sebuah tekanan. Mengabaikan rasa
sesak itu dalam dua detik, ia kembali fokus
memeriksa sangkur yang terpasang di depan
senapan.
"Cut!" Lee berseru dengan bantuan toa pinjaman
dari Itachi—yang kerap digunakan yang
bersangkutan tiap kali melakukan aksi unjuk rasa.
"Sakura-chan~ pegang senapan itu bukan begitu
caranya. Dan Hinata, dialogmu kurang
meyakinkan," komentar Lee pada dua tentara
gadungan itu.
Yah, itulah sebabnya tentara yang satu punya
warna mata yang kurang serasi dengan rambut
gelapnya sedangkan yang satu lagi terlihat terlalu
lemah lembut. Tentu saja karena peran tentara
yang (seharusnya) sangar dan menakutkan itu
diambil alih oleh kedua gadis yang sama-sama
imut.
"Terus gimana dong, caranya. Aku kan nggak
ngerti. Mana kutahu caranya pegang senapan,"
timpal Sakura.
"Sini deh, biar aku yang ngajarin." Lee
mengacungkan jempol, terlihat bersemangat
mengajari gadis berambut pink itu cara
memegang senjata dengan baik dan benar.
"Minggir, sana. Urusan ini biar aku yang
menangani," sergah Naruto sembari merebut AK
47—senjata buatan Rusia—yang sebenarnya
merupakan sebuah penyesatan mengingat
negara asal pembuat sekaligus tahun
pembuatannya yang meleset dua tahun dari latar
film ini. Pemuda berambut bak durian inilah yang
tadi berperan sebagai Tentara Sekutu yang
menembak Tentara Jepang yang diperankan
dengan baik oleh Kiba.
"Hoi, aku minta minumnya, ya!" Kiba berseru tak
jauh dari lokasi 'kematiannya' tadi. Sepertinya
pemuda Inuzuka inilah satu-satunya partisipan
yang melaksanakan tugas dengan sepenuh hati.
Yah, setidaknya imbang dengan banyaknya
snack skubi yang diberikan Ino untuk Akamaru.
"Go-gomenasai," Hinata menundukkan kepala
tanpa berani memandang ke arah Lee.
"Hahaha~ tidak apa-apa, Hinata. Kau hanya perlu
sedikit berusaha lagi," komentar Lee.
"Ah, iya. A-arigatou, Lee-san."
"Hei, Yamanaka. Memangnya kau tidak punya
baju yang lebih sesuai untuk pacarku? Memakai
korset itu menyebalkan, tahu!" tukas Gaara.
"Aku juga sama, Gaara," ujar Ino, "mau
bagaimana lagi? Tanpa benda yang kausebut
menyebalkan ini, kami akan terlihat seperti tentara
yang kelebihan massa otot di dada. Kecuali kalau
kami punya tubuh kutilang darat seperti ... "
"BICARA LAGI, KUBUNUH KAU, PIG!"
.
.
.
Sasuke memberikan sekaleng jus tomat dingin
pada gadis yang sedari tadi sibuk membolak-
balik naskah drama. Ada kegugupan yang tersirat
dari gadis yang sehari-harinya terlihat ceria.
Sasuke mafhum mengingat sebentar lagi muncul
mengisi kekosongan peran yang ada. Maklum,
tak banyak teman yang terlibat dalam proses
pembuatan filmnya. Karena itu, beberapa dari
mereka mendapat peran ganda.
Seperti kali ini, ia berperan sebagai Vyacheslav
Molotov—Menteri Luar negeri Uni Soviet—yang
ditemui duta besar Jepang demi membicarakan
upaya mediasi untuk mengakhiri perang.
"Oi, Ino! Kau sudah siap? Kami menunggumu
untuk scene selanjutnya!" panggil Lee dengan toa
wasiat Itachi.
"Sebentar, Lee. Beri aku waktu beberapa menit
lagi untuk menghafal naskahnya," ujar Ino.
Lee mengangguk-anggukan kepala pertanda
mengerti. Sementara gadis bermata sebiru
samudra itu fokus pada deretan kalimat yang
tersaji. Bukan hal yang sulit untuk dihafal, tetapi
baginya sulit untuk dimengerti.
Naskah di tangannya memang menitiberatkan
pada rencana konkrit untuk mengakhiri perang.
Kaisar dan keenam menteri mulai memikirkan
perjanjian damai setelah berbagai kekalahan yang
membayang. Di scene yang sama, Sasuke juga
akan tampil sebagai Perdana Menteri Jepang.
Sekalipun tahu mereka tak punya banyak pilihan,
tetapi Jepang menghendaki penyelesaian yang
lebih baik dari sekedar menyerah tanpa syarat.
Mereka menunjuk delegasinya untuk menggiring
Uni Soviet pada sebuah persahabatan erat.
Setidaknya negara itulah yang diharapkan mau
dan mampu membujuk Sekutu-Sekutu Barat.
"Vyachelsa ... ah, namanya susah sekali,"
keluhnya.
"Vyacheslav Molotov," ralat Sasuke, "Vya-ches-
lav Molotov."
Ino memasang ekspresi cemberut, "Ugh,
Sasuke-kun menganggapku seperti anak TK, ya?
Tidak perlu dieja begitu, aku tersinggung."
"Tidak perlu cemberut begitu, Sayang." Sasuke
menurunkan nada suaranya ketika menyebut
kata terakhir, "Ini agar kau lebih mudah
menghafal namanya. Nama memang Rusia itu
memang sedikit sulit dibaca bagi orang yang
terbiasa."
Ino sedikit tersentak ketika jemari Sasuke tergerak
membelai pipi kanannya. Semburat kemerahan
sontak terlihat di kedua belah pipinya. Tak perlu
waktu lama, sebuah kecupan lembut didaratkan
Sasuke di pipi gadisnya.
"Berusahalah. Kau lebih dari mampu untuk
melakukannya," ucapnya.
Bagi Ino, kecupan dan ucapan itu adalah
representasi dari injeksi semangat. Terbukti kini
semangatnya naik berkali-kali lipat. Manik
kebiruannya kembali fokus pada naskah yang
sempat membuatnya penat.
"Lee, aku sudah siap! Ayo, kita lanjutkan
shooting-nya," ucap Ino.
Lee mengacungkan jempolnya, menyambut
semangat Ino dengan penuh sukacita. Sementara
Sasuke hanya mengulum senyum tipis
mendapati semangat kekasihnya kembali
membara.
Karena itulah yang diharapkannya.
.
.
TBC
.
.
Keterangan :
1. Kanto adalah wilayah di Jepang yang terbagi
atas 7 prefektur yaitu : Gunma, Tochigi, Ibaraki,
Saitama, Tokyo, Chiba dan Kanagawa.
2. Pertempuran Okinawa terjadi selama bulan
Maret-Juni 1945
3. Tanggal 5 April 1945, Uni Soviet menolak
untuk memperbaharui Pakta Netralitas yang tentu
saja membuat Jepang semakin waspada dengan
kemungkinan lawan berlapis, meskipun pakta itu
seharusnya tetap berlaku hingga setahun
kemudian.
4. Tanggal 30 Juni, Menteri Luar Negeri Shigenori
Togo mengutus Duta Besar Jepang untuk
Moskva agar melakukan pendekatan untuk
merangkul Uni Soviet sebagai mediator dengan
Sekutu-Sekutu Barat.
Akhirnya, bisa publish tepat waktu. Sungguh
benar-benar sesuatu mengingat proses
pengerjaannya yang bagi saya agak terburu-
buru. Maklum, beberapa kali fic ini mengalami
bongkar-pasang scene dan pengurangan ini-itu.
Wew, pada intinya saya cuma mau sedikit
mendongeng tentang kapitulasi Jepang saat
Perang Dunia kedua. Cakupannya saya batasi dari
pasca Pertempuran Okinawa sampai beberapa
tahun setelah Restorasi Showa. Dan soal bahasa,
maaf kalau ada kesan kontradiktif dari bahasa
super santai bin abalita tiba-tiba berubah jadi
(sok) serius yang terkadang bikin sakit kepala.
Dan buat Sorella, yah cuma segini deh
kemampuan saya. Mohon diterima apa adanya.
Silakan di-concrit kalau kurang mengena (asalkan
jangan minta tambah jatah romens-nya. Sorella
tahu romens bukan 'mainan' saya).
Terakhir, terima kasih sudah menyempatkan diri
membaca fanfiksi ini. Jika tidak merepotkan, kotak
ripyu saya masih cukup luas untuk menampung
segala atensi.
Molto Grazie ^^

0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | SharePoint Demo