Langit yang terlihat di atas gedung Konoha High
begitu jernih, berwarna biru muda yang polos.
Memang, awan-awan tampaknya sedang tidak
tertarik untuk mengambang di sana, tapi
syukurlah sinar matahari tidak terlalu terik di pagi
ini.
Namun, semua itu bagi seorang Hinata Hyuuga
hanyalah kondisi alam. Sama sekali tidak
membangkitkan mood-nya yang selalu berat
seperti hari-hari biasa.
Sambil memainkan jemari tangan, Hinata yang
sedari tadi berdiri di ujung koridor mulai sedikit
mengangkat wajahnya. Ia pandangi keempat
siswi sekelasnya sedang berdiri menyumpal jalan
masuk menuju kelas.
Satu alasan, ia takut.
Sudah lima menit ia terdiam menunggu orang-
orang itu pergi. Tapi sayang, tampaknya para
gadis penggosip tersebut tidak akan pergi dari
sana dalam jangka waktu yang lama.
Hinata pun merilekskan bahunya yang tegang,
berusaha mengumpulkan keberanian. Kemudian,
ia langkahkan kaki mungilnya menelusuri koridor
lantai dua.
"Pe-Permisi.."
Sontak suara lembut itu menjadi sorotan empat
pasang mata sekaligus. Menyadari tatapan tajam
dari mereka, mental Hinata seakan menciut untuk
meneruskan kalimatnya.
"Maaf, a-aku mau masuk.."
Yang berambut merah muda langsung
mendengus. "Ck, lewat aja apa susahnya, sih?
Ganggu orang aja."
Terbiasa mendengar nada sinis seperti tadi,
masih dengan menunduk Hinata berjalan maju
sambil berbisik. "Te-Terimakasih.."
Tawa dari ketiga yang lainnya mulai menyusul
saat Hinata sudah melewati mereka. Tapi sesaat
Hinata baru saja melewati Ino, secara sengaja
gadis pirang itu menyenggol kasar bahunya, dan
berdesis. "Dasar manusia setan."
Hinata mengigit bibirnya.
Ia memang selalu tidak nyaman apabila ada
seseorang yang menyebutkan julukan nista itu
padanya. Ya, julukan yang sudah menempel erat
sedari awal ia menginjakan kaki di sekolah ini.
"Hei, kenapa dia dikatain 'gadis setan' sih?"
Tenten, si tomboy yang belum tau banyak
tentang Hinata langsung menaikan salah satu
alisnya.
"Kalian tidak tau, eh?" Sakura terkikik geli sebelum
ia melirik ke Hinata yang sudah terduduk di
bangkunya yang paling belakang.
"Katanya dia kan bisa melihat setan. Horror
banget, ya?"
Walaupun terpisah oleh jarak yang lebih dari
sepuluh meter, Hinata masih dapat mendengar
mereka, terutama karena suara Sakura yang
disengajakan kencang untuk membuatnya
tersindir. Dari bangkunya, Hinata hanya bisa
menghirup udara banyak-banyak, lalu ia
hembuskan sampai kedua matanya terpejam.
Mencoba bersabar.
"Mungkin dia tidurnya di kuburan kali ya?"
"Hahahaha..!"
.
.
.
STALK GHOST STALK
"Stalk Ghost Stalk" punya zo
Naruto by Masashi Kishimoto
Inspired from Ghost Whisperer
[NaruHina & NaruSaku & SakuHina]
Crime, Horror, Suspense, Friendship
AU, OOC, Typos, No-Bashing, etc.
.
.
FIRST. Kasus
.
.
Seperti biasa di jam pelajaran sebelum istirahat,
Kakashi-sensei—guru yang seharusnya
mengajarkan sejarah—kembali terlambat masuk.
Entahlah karena apa, yang penting sudah pasti
pria itu telah menyiapkan alasan tidak masuk akal
ke murid didikannya.
Namun, bukannya kesal justru banyak murid
yang bersyukur. Malahan ada yang
mendoakannya agar tidak masuk sehingga
mereka bisa menghabiskan 90 menit ini untuk
mengobrol. Ya, sama seperti keadaan sekarang.
Untuk kelompok para siswi yang paling terkenal
di kelas, topik hari ini yang dimulai Sakura sedikit
berbeda—tentang temannya di dunia maya.
"Iya, aku baru saja kenalan seminggu yang lalu,
dan kami akan ketemuan nanti sepulang
sekolah~"
Tenten merespon dengan tersenyum lebar.
"Hah? Baru kenalan seminggu sudah bisa diajak
ketemuan? Kok bisa deh?"
"Iyadong! Hebatnya lagi dia juga tinggal di
Konoha."
"Wow! Enaknyaa~!"
Karin yang ada di sebelah langsung memotong
dengan wajah berpikir. "Kau yakin dia bukan
orang jahat, Saku..?"
"Tidak mungkin! Wajahnya aja kayak tanpa dosa
gitu kok!"
Ino bergumam sebentar, berpikir sampai
keningnya berkerut. "Ehh, ngomong-ngomong
soal orang asing, kalian tau kasus baru-baru ini,
tidak?"
"Kasus apa?" Sambil bertanya Sakura sedikit
mengamati Hinata dari ekor matanya.
Sebenarnya ia tau bahwa gadis indigo tersebut
dari tadi sudah mendengarkan semua
pembicaraan mereka. Bahkan saking seriusnya
menyimak, wajah Hinata sampai berani
menghadap ke kelompoknya. Tapi kali ini Sakura
membiarkan.
Yah, sekedar pamer betapa serunya mengobrol
bersama teman-teman dibandingkan sendirian
seperti itu.
"Banyak yang merasa kalau mereka di stalk oleh
seseorang.."
Karin mengernyit. "Bukannya itu biasa?"
"Menakutkan tau! Sudah hampir lima puluhan
siswi sekolah kita yang melapor ke guru!"
"Iya, kan bisa aja dia berencana menculik atau
membunuh kita!" Sakura melanjutkan. Namun,
karena sudah merasa risih, akhirnya Sakura
menoleh ke kanan, tepat ke arah Hinata.
"Apa lihat-lihat!"
Dengan tersentak Hinata langsung membuang
muka dan menunduk dalam-dalam.
.
.
~zo : stalk ghost stalk~
.
.
Srek!
Di lain tempat, seseorang pria berumur dua
puluh lima tahun baru saja keluar dari semak-
semak sekolah dengan wajah yang serius.
Bersama langkah pelan, ia sibuk sendiri
menyingkirkan segala macam dedaunan yang
menyangkut di baju maupun helaian pirang
jabriknya.
Setelah merasa dirinya sudah rapih, ia keluarkan
sebuah kamera Canon yang ia lindungi dengan
balutan jaket hijaunya.
"Fuhh.. untung saja kacanya tidak kebaret."
Ia gunakan kain berwarna hijau daun punyanya
untuk mengelap setiap bagian kamera yang ia
sayangi itu dengan benar. Tapi, saking seriusnya
ia sampai tidak menyadari ada seseorang dari
belokan di depan.
Bukh.
Tabrakan tadi memang pelan, dan tidak mungkin
membuat dirinya atau orang yang ia tabrak
menjadi terjatuh ataupun terlempar. Namun
karena kejadian tersebut, kamera miliknya lepas
dari genggaman.
Naruto terbelalak, cepat-cepat ia memeluk si
kamera, tidak peduli akan seorang gadis indigo
yang akan ia hantam keras.
Brukh!
Kali ini mereka benar-benar terjatuh.
"Ah, maaf!" Setelah kameranya—lagi-lagi—
selamat ia langsung menatap kedua lavender
milik Hinata dengan pandangan penuh
kekhawatiran. Gara-gara dia Hinata terjatuh. Ia
pegangi tangan lembut gadis itu, membantunya
agar ia bisa terduduk. "Tadi sakit, ya?"
Lalu sebelum izin dari yang punya, ia tepuki siku
maupun lutut Hinata yang sedikit kotor akibat
permukaan aspal yang menggeseknya.
"..."
Hinata tidak menjawab, ia hanya terdiam sambil
mengamati gerak-gerik pria asing ini yang
membantunya.
Pipi Hinata memerah.
Dia sedang terpana..
Sudah lama sekali tidak ada orang yang pernah
sebaik ini kepadanya. Malahan ia pernah
mengingat kejadian di mana Sasuke, sang idola
di sekolah—yang diberi julukan 'Pangeran' oleh
para siswi—menabraknya, tapi ia pergi begitu
saja tanpa meminta maaf.
Dibandingkan Sasuke, pria yang ia tatap sekarang
sepertinya jauh lebih cocok dipanggil 'Pangeran'.
Benar, kan?
"Kau baik-baik saja?"
Semua kalimat yang dikeluarkannya bagaikan
alunan surga bagi Hinata.
Sangat merdu..
"Bisa berdiri?"
Dan dia.. begitu baik.
"Halo..? Apa kau masih sadar?"
Dengan terkaget Hinata pun sadar atas
lamunannya. "Ti-Tidak ada apa-apa.." Ia segera
menggeleng lemah, lalu berusaha berdiri. "Te-
Terimakasih."
Lalu, tiba-tiba saja seorang siswi yang sekelas
dengannya muncul. Rambutnya merah muda,
dan itu sudah pasti Sakura Haruno.
"Eh, Naru? Kau sedang apa?" Matanya
mengernyit, mengamati Naruto dan Hinata
menggunakan tatapan penuh selidik.
Naruto pun berdiri dengan sebuah senyum lebar.
"Tidak, tadi kami ketabrak sedikit."
Sesudah ia berdiri di sebelah Sakura, dia biarkan
gadis pink itu memeluk tangan kanannya seakan
mereka adalah pasangan kekasih. "Ayo kita
pergi.."
Mata Hinata mengerjap pelan.
Jangan-jangan Naruto adalah pria yang Sakura
kenal dari dunia maya?
Mendadak pikirannya kembali dibuyarkan dengan
menolehnya pria itu lagi ke arahnya yang
terbengong. Naruto tersenyum lucu dan
melambaikan tangannya. "Ohya, sampai
jumpa.."
.
.
~zo : stalk ghost stalk~
.
.
Sesampainya di rumah kediaman Uzumaki,
Sakura tersenyum melihat rumah Naruto yang
jauh lebih bagus dan besar dibanding bayangan
di otaknya. Tapi yang utama tetap tidak meleset;
Naruto memang orang kaya.
Ia bukakan pintu depan yang terlihat berat itu
kepada Sakura, mempersilahkan gadis itu terlebih
dulu masuk. "Maaf kalau berantakan."
Sakura semakin tersenyum melihat banyak
barang mahal yang terpajang di sana. "Tidak
apa."
Lalu ia biarkan Naruto menuntunnya ke dalam
rumah mewah yang bergayakan barat tempo
lalu. Walaupun terisi barang-barang yang
kebanyakan berasal dari kayu coklat dan emas,
tapi tetap saja indah di mata siapapun.
Sesampainya di ruang tamu, Sakura langsung
duduk di sofa berwarna merah.
Sedangkan Naruto masih berdiri malah
menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.
Tampaknya dia sedang gugup. "Hm.. ngomong-
ngomong, untuk apa ya kita ke rumahku?
Kenapa kita tidak ke taman bermain saja?
Rumahku membosankan."
"Aku tidak tau." Sakura menggedikan bahu dan
tersenyum penuh maksud. "Saat kau bilang mau
ke mana, aku hanya bilang mau ke rumahmu,
dan kebetulan kau mengizinkan."
Lalu ia lempar tatapannya ke Naruto yang
menyimak.
"Lagipula, tidak akan ada pria dewasa yang
ngebolehin perempuan ke rumahnya yang
kosong tanpa maksud, kan?"
Memang benar. Di rumah ini memang hanya ada
mereka berdua.
"..."
Naruto yang terdiam langsung menghela nafas.
Kedua sudut bibirnya terangkat. "Aku tidak
mengerti.."
Sakura mendengus geli, tentu saja ia tau pria itu
berpura-pura. "Terserahlah."
Naruto hanya tersenyum ramah lalu mulai
berjalan ke dapur. "Tunggu sebentar di sini,
jangan ke mana-mana. Aku akan membuat
minum."
Setelah Naruto menghilang dari ruang tamu,
dengan bertopang dagu Sakura menjelajahkan
pandangannya ke sekitar rumah.
Semuanya ia perhatikan. Dan ketika ia
menemukan sebuah pajangan yang tampak
dibuat dari berbagai mutiara asli, sebuah cengiran
nakal keluar.
Inilah pria yang ia cari.
Tampan, dan banyak duit.
Oh yaampun, perempuan munafik mana yang
tidak mau bersama pria yang seperti itu?
Sambil tertawa pelan, mendadak tatapannya
terfokus ke tangga yang akan
menghubungkannya ke lantai dua.
Ia pun menegakan kembali punggungnya dan
beranjak dari sofa. Dari pada bosan, lebih baik ia
sekedar sightseeing.
Sakura berjalan ke sana, ia taiki setiap anak
tangga yang akan membawanya ke lantai dua.
Sesampainya di atas, mata emerald gadis itu
terpaku oleh pajangan yang berderet sepanjang
mata memandang. Terlihat dari tanda tangan di
setiap foto, sepertinya itu hasil foto dari kamera
Naruto sendiri.
Tampaknya pria itu mempunyai hobi yang
bagus.
Lalu, perjalanannya menjelajahi lantai dua
terhenti. Karena ada sebuah pintu yang mungkin
adalah kamar Naruto.
Sakura memiringkan kepalanya, sekedar berpikir
akan memilih memasuki kamar itu atau tidak.
Tapi yasudahlah, lagipula pasti Naruto tidak akan
marah padanya ini kok.
Dibukanya pintu kamar lebar-lebar, lalu ia masuki
ruangan gelap yang hanya terisi cahaya sore.
Kamar Naruto besar, tapi terlihat kosong karena
hanya terisi perabotan sebutuhnya—kasur, meja,
lemari dan beberapa game seperti PS 3 dan x-
box.
Ctik.
Setelah Sakura menyalakan saklar lampu, barulah
ia memajukan langkahnya dan berhenti di
tengah-tengah ruangan.
"Hmm.. benar-benar kamar yang sederhana."
Namun, saat ia menoleh ke samping, tepatnya ke
arah meja belajar diletakan. Matanya terbelalak.
"I-Ini..?"
Meja itu memang meja biasa. Ada tumpukan
buku serta berbagai alat tulis yang tersusun
rapih. Tapi bukan semua itu yang membuatnya
kaget, melainkan sesuatu yang tertempel di
tembok senderan meja.
Di sana terdapat banyak, tidak, sangat banyak
sebuah foto yang berukuran kecil.
Ini bukan mengenai banyak atau sedikitnya
jumlah foto yang terpajang, melainkan gambar
yang terpampang.
Semuanya adalah gambar siswi-siswi yang
memakai seragam sekolah Konoha High,
sekolahnya.
Dan kalau lebih diperhatikan, modus objek
fotoannya adalah siswi yang terbilang cantik,
manis, dan seksi.
Maka dari itu, matanya semakin membulat ketika
ia mendekat, tidak percaya atas apa yang dia
lihat.
Semua murid yang ada di foto dengan berbagai
macam ekspresi dan pose. Ada yang sewaktu
dia belajar di kelas, ada yang saat makan, ada
yang saat olahraga, bahkan.. ada juga puluhan
foto tak senonoh.
Seperti sedang berganti baju dan.. mandi?
Sakura tersentak saat ia lihat salah satu gambar
yang tidak enak dipandang itu.
Walaupun hanya terlihat bagian tubuh yang
belakang, sudah dapat dikenali dari rambut dan
juga ukuran tubuhnya..
Itu dirinya sendiri.
Ia ingat, ia ingat benar pernah merasa difoto oleh
seseorang sesudah mata pelajaran renang. Dan
jangan-jangan orang itu adalah.. Naruto?
"A-Apa-apaan ini!" Ia berdesis, tidak kuasa
menahan semua ketekejutan.
Satu kesimpulan, Naruto adalah stalker dari
semua siswi sekolahnya.
Dia.. MANIAK!
"Sakura..?" Dari lantai satu Naruto memanggil.
Sakura tidak kaget, malah ia langsung keluar
kamar, ingin menyamperi pria tersebut dan
segera menamparnya. "Kau di mana, eh?"
Suaranya tampak tenang, tapi..
Ckrek.
Yang tadi.. suara pistol.
Segala keberanian Sakura langsung menciut.
"A-Astaga.." Gumamnya sambil kembali
memundurkan langkah kembali ke kamar. Cepat-
cepat membanting pintu dan menguncinya.
Tanpa perubahan suhu atau apapun, tubuh
Sakura terasa dingin dan berangsur-angsur terus
merinding. Tak ada hal lain yang bisa ia pikirkan
selain tetap diam di dalam kamar.
Tok tok tok.
Ketukan itu nyaris membuatnya menjerit. Air
mata sudah muncul di sudut matanya.
Terdengar kekehan dari luar pintu.
"Sudah kubilang kan, Sakura.." Bisik Naruto, yang
entah kenapa cara bicaranya terdengar sangat
berbeda—seolah-olah baru saja mabuk. "Jangan
pernah ke atas.."
"Tapi karena kau sudah tau rahasiaku.."
BRAKH!
Sakura menjerit merasakan Naruto mulai
mendobrak pintu.
"BUKA!" Pria itu menggeram. "CEPAT BUKA
PINTUNYA, BRENGSEK!"
Kini, jantung Sakura benar-benar berdetak cepat
bagaikan baru saja lari maraton ratusan meter.
Perlahan, dengan kaki gemetar ia melangkah
mundur, salah satu tangannya sibuk menutupi
mulutnya yang menganga. "Kami-sama.."
BRAKH!
BRAKH!
"Aduh.." Semakin kencang dobrakan, ia
meringis. Pandangannya bergerak ke segala
tempat, berharap ada sesuatu yang bisa
menyalamatkannya dari Naruto. Tapi dari seluruh
benda yang ada di kamar, hanya ada satu jalan
keluar.
Jendela.
Tapi tidak mungkin. INI LANTAI DUA!
BRAKH!
"Yaampun.." Ia jambaki helaian merah mudanya.
"Aku harus bagaimana!"
"Buka pintunya, atau.." Lirihan Naruto mendadak
membuatnya terpaku, ia merasakan firasat buruk
tentang ini. "Kita akan bersenang-senang,
sayang?"
DOR!
"KYAAAAA!" Bersama teriakan, Sakura berlari ke
arah jendela.
Persetan dengan sesuatu yang akan melukai kulit
mulusnya, ia bisa mati kalau terus berada di sini!
Selama Naruto masih kesulitan mendorong pintu
karena kunci yang sudah ia pasang, Sakura
mengangkat kaca jendela dan mulai
mengeluarkan kepalanya terlebih dulu dari sana.
Ia tau kalau posisinya salah, tapi mau bagaimana
lagi. Ia sudah kelewat panik.
Jangan tanya kenapa, ini pengalaman terseram
yang pernah ia alami!
BRAKH!
BRAKH!
Suara itu bagaikan Neraka bagi Sakura. Ia
semakin tidak bisa mengontrol dirinya dari
gemetar ketakutan yang menyerang. Bahkan
telapak tangannya malah lemas sesudah ia
menyentuh alas rendah yang merupakan balkon
kecil di luar.
Dengan segenap kemampuan, ia menarik diri.
Berusaha mengeluarkan sisa tubuhnya—dari
perut ke bawah—untuk keluar.
Namun, saat salah satu kakinya sudah keluar dan
ia akan mengeluarkan salah satunya lagi.
GREP!
Salah satu kakinya berhasil di tahan oleh Naruto—
yang nyatanya sudah masuk ke kamar.
"KYAAAAAA! LEPASKAN! LEPASKAAAAAN!"
"Tidak bisa, Sakura. Kau ingat tujuan awal kita
bertemu, bukan? Seharusnya kita bermain
bersama.." Naruto mengeluarkan tawa. Sebuah
tawa yang mampu membuat bulu kuduk Sakura
berdiri.
Tapi tak ada yang bisa Sakura keluarkan selain
jeritan serta umpatan kasar kepada Naruto,
apalagi saat pria itu menarik kakinya dengan
semena-mena—sehingga menyebabkan betis,
tulang kering maupun lututnya tergesek oleh
sesuatu yang membuatnya berdarah.
Setelah menarik setengah dari tubuh Sakura yang
masih tersangkut di luar jendela, Naruto putar
180 derajat posisi gadis tersebut. Kemudian, ia
pegangi paha putih Sakura—sekedar bermain
kesempatan—sehingga ia bisa menarik kencang
tubuh itu sekali lagi.
Sakura tentu saja meronta. Matanya yang sudah
mengeluarkan tangisan terpejam rapat,
tangannya memukul apapun yang ada di sekitar.
Sampai-sampai dia tidak sadar sudah ada
moncong pistol yang mengarah ke dagunya.
"KYAAAAA!"
DOR!
PRANG!
Seusai pecahan kaca jendela berhenti berjatuhan,
cepat-cepat Sakura membuka mata.
Beruntunglah tangannya yang tidak bisa diam
langsung memukul pistol, karena kalau tidak,
mungkin wajahnya akan hancur oleh tembakan
tersebut.
"KAU GILA! LEPASKAN AKU!"
Mendengar teriakan Sakura, akhirnya gerakan
tangan Naruto untuk menarik paksa terhenti.
Awalnya Sakura lega, namun tiba-tiba saja
Naruto meletakan kedua tangan kekarnya ke
jendela, lalu ia menyeringai.
Sakura tentu saja tersentak. Secara tubuhnya
masih tersangkut di jendela. Dan saat ia melihat
ke arah jendela yang ada di atasnya sudah
berujung runcing semua, terbayang perutnyalah
yang akan menjadi sasaran apabila Naruto
menutup jendela. Dan dia.. akan mati.
Sakura terbelalak.
Dan Naruto menyeringai.
"Kau yang memaksaku melakukan ini."
JREG!
"AAAAAHHHHH!"
.
.
~zo : ghost stalk ghost~
.
.
"Iya! Kemarin aku bersumpah ada yang
memfotoku!"
"Ihh, itu menyeramkan banget! Terus kaunya
bagaimana?"
"Aku sih tidak apa-apa, tapi aku takut hasil
fotonya malah jelek!" Salah satu siswi kelasnya
tertawa terbahak-bahak bersama temannya. Tapi
sesudah tawa mereka reda, yang berambut
keriting langsung menoleh ke Hinata yang masih
menyapu di kelas. "Ohya, kami duluan ya!
Jangan bicara sendirian lagi, Hyuuga! Haha!"
Sreek.
Pintu kembali tertutup dan suara obrolan kedua
murid itu semakin redup, meninggalkan Hinata
sendirian di kelas dalam keheningan.
Kenapa Hinata sendirian? Karena dia sedang piket
—membersihkan kelas.
Sebenarnya kalau dilihat dari daftar buatan ketua
kelas, seharusnya bukan Hinata yang ditugaskan
bersih-bersih pada hari ini.
Ada tiga siswa. Tapi semuanya mengatakan
kalau mereka sibuk dan melemparkan segala
tanggungjawabnya ke Hinata seorang.
Tapi walaupun Hinata tau orang-orang itu
berbohong, ia selalu menerima dengan tulus.
Lagipula di rumahnya juga sepi, lebih baik ia
membersihkan kelas—sekedar mengisi
kekosongan saja.
Sreek.
Suara pintu tergeser membuatnya yang tengah
menyapu langsung menoleh. Ia hentikan
kegiatan dan berjalan ke pintu dan sedikit melihat
keadaan luar—mencari tau siapa yang telah
membuka pintu ini.
Tidak ada siapa-siapa di dalam kelas selain
dirinya, dan juga tidak ada siapa-siapa di koridor
lantai dua.
"Yang tadi.. siapa?" Bisiknya berharap ada orang
atau hantu yang menjawabnya.
Ya, Hinata memang bisa melihat juga
berkomunikasi dengan hantu. Bukan karena ia
tinggal di dekat kuburan atau apa, tapi karena
kemampuan yang diturunkan oleh Ibunya.
Namun, nyatanya ia mendapatkan sebuah
jawaban tak terduga.
Sebuah hembusan dingin di daerah lehernya.
Cepat-cepat gadis berambut itu berbalik,
membuat helaian indigonya bergoyang.
Tapi saat ia melihat ke belakang, masih tidak ada
sesuatu yang tampak.
"Hinata.."
Hinata terkaget. Nyaris saja ia kehilangan
keseimbangan saat mendengar suara itu.
Meski ia sudah kenal dengan yang namanya
hantu sejak kecil, ia tetap tidak terbiasa apabila
dikagetkan seperti tadi. Ia senderkan
punggungnya yang lemas ke tembok, lalu ia
eratkan genggamannya ke tongkat sapu yang
masih ia pegang.
Di sudut kelas, lebih tepatnya di daerah paling
pojok kiri terdapat sebuah bayangan, bayangan
hitam setinggi 160 cm.
Dan, lama kelamaan bayangan tersebut semakin
jelas. Menampakan sebuah sosok yang
membuatnya terbelalak.
Hinata mengerjapkan mata, terus memandangi
sesosok gadis yang tampaknya salah satu siswi
sekolahnya.
Normal, tapi siswi itu berdarah di bagian perut.
Namun tidak kelihatan lukanya seperti apa karena
ditutupi seragam putihnya yang berlumur noda
darah.
Semakin ia lihat ke atas, Hinata dapat melihat
tangan hantu itu yang sedikit dipenuhi oleh
baretan benda tajam dan memar.
Dan untuk yang terakhir, ia cukup kaget.
Terutama ketika melihat wajahnya.
Itu Sakura, Sakura Haruno
"Hina.." Siswi yang paling sering berkuasa di
kelas itu menyebut namanya. Dengan pelan, dan
menyeramkan. "Hinata.."
"Tolong.." Lirihnya tanpa tenaga. "Tolong aku!"
Hinata merinding, terutama saat ia mendekat
serta sedikit menjulurkan tangannya.
"TOLONG AKU!"
.
.
TO BE CONTINUED
0 komentar:
Posting Komentar