Total Tayangan Halaman

20/06/12

Kata Bunda

Standard disclaimer applied
Naruto © Kishimoto Masashi 1999
Kata Bunda © Chillianne Erythroxylon 2012
Warning(s): AU, little bit OOC, Sasuke's
POV, typo, misstypo, etc.
Summary: Mikoto X Sasuke. BUKAN Incest.
\Bunda cerewet. Bunda selalu mengomel. Bunda
selalu mengatur ini dan itu. Tapi kata Bunda, itu
semua dilakukannya semata karena beliau
mencintaiku./ RnR? DLDR.
.
I don't need all kinds of flame, but it doesn't
matter if you had given me one of it.
So, I've warned you and it means; you shouldn't
read it if you don't like it.
.
.
.
Saat aku jatuh sakit.
Kala itu, sudah sepekan lamanya aku tidak masuk
sekolah. Hanya hari-hari kesialan —yang
membuat tubuhku semakin tak bergairah yang
menyapaku. Aku hanya bisa terbaring di atas
ranjangku, menatap kosong langit pagi, siang,
senja, dan malam lewat jendela yang terpaku di
seberangku. Rasanya bosan. Sangat bosan. Aku
ingin kembali bebas dan menjalani kehidupan
normalku. Tanpa mau bertemu kembali dengan
typhus sial ini yang menyerangku tanpa sebab.
Bunda masuk ke kamarku tanpa permisi.
Wajahnya yang dingin membuatku semakin
malas 'mencari ribut' dengan beliau. Kata orang
Bunda mirip sekali denganku, namun aku terlihat
lebih kalem dibandingkan dengannya.
Dahiku berkedut saat beliau menarik sebuah kursi
di samping ranjangku, seraya mempertontonkan
semangkuk bubur penuh sayur yang berada di
pangkuannya. Sepertinya makanan menjijikkan
itu tengah tersenyum iblis padaku, dan aku hanya
bisa menelan ludahku ketika 'bertemu pandang'
dengannya.
"Kau harus makan, Sasuke. Supaya cepat
sembuh." Ujar Bunda datar. Beliau mengaduk-
aduk bubur hijau yang membuatku mual itu,
seolah mengoyak tenggorokanku dengan sadis.
"Ti … dak. Aku. Benci. Sayur." Kelitku tajam, keras
kepala. Aku menggeleng, seraya menutup
mulutku dengan kedua tanganku. Persis seperti
balita yang dipaksa makan oleh ibunya. Namun
aku bukan lagi balita, usiaku sudah menginjak
satu dekade, ditambah enam tahun. Enam belas
tahun.
"Harus. Kau ini keras kepala!" Bunda menaruh
mangkuk 'kematian' itu di meja kecil sebelahnya,
lalu menghampiriku. Melepas paksa kedua
tanganku dan menatapku tajam. Mata hitam kami
saling bertemu pandang. Baru kali ini aku melihat
wajah Bunda yang berkali-kali lipat lebih seram
dari yang biasanya. "—kalau kau tidak mau
makan, kau tidak akan pernah sembuh. Sasuke.
Uchiha Sasuke."
"Tapi, Bunda!"
"Jangan melawan! Makan! Bunda suapi di sini,
sekarang!"
—aku yang kesal setengah mati membalikan
badanku memunggungi Bunda. Lalu kembali
menenggelamkan tubuhku di balik selimut tebal.
Aku tak mau sayur. Aku benci. Rasanya aneh.
Aneh. Menjijikkan!
"Sasuke!"
"Tidak!"
Arrrgh! Bunda keras kepala!
Kudengar helaan napas Bunda yang menandakan
keputusasaan. Aku kemudian berbalik, mengintip
Bunda yang tengah menggerutu kecil seraya
memijat dahinya frustasi melalui celah di balik
singkapan selimut. Hatiku bersorak.
"Hah … terserah kau saja. Pokoknya Bunda tak
mau tahu kalau sakitmu semakin parah. Kalau kau
tak mau menuruti perintah Bunda, maka Bunda
akan memotong uang sakumu untuk
selamanya."
Aku terbelalak, kemudian spontan terbangun
dengan posisi duduk tegak. Kuraih mangkuk
berisi bubur yang tengah tertawa kemenangan
itu, lalu menyodorkannya pada Bunda. Tanganku
gemetar, dan Bunda ikut menampangkan seringai
setan.
"Ba-baiklah, aku menuruti Bunda!"
"Nah, itu baru anakku …"
.
Saat itu, aku benar-benar kembali merasa
menjadi seorang bocah ingusan. Yang disuapi
Bunda. Yang menangis tersedu-sedu —saking tak
sudi memakan bubur hijau aneh itu, dengan
ingus yang terburai.
Bunda cerewet. Bunda cerewet. Bunda cerewet!
Hanya itu yang ada di pikiranku. Cerewet!
.
.
.
Saat aku makan …
… makanan yang kusukai.
Ketika sepulang sekolah, perutku menjerit
meminta limpahan berkah. Air liurku menetes
saat kubayangkan sesendok sup tomat yang
masuk melalui mulutku, melumer membasahi
seluruh permukaan lidahku, dan menyapu
tenggorokanku. Rasanya pasti sangat nikmat.
Beruntung saat aku sampai di rumah, Bunda
sudah pulang dari kantornya. Beliau adalah wanita
karir. Semenjak aku lahir sampai sekarang, beliau
berperan sebagai ayah sekaligus ibu yang
menangani semua masalah. Ayah dan ibunya
sudah meninggal, dan Papaku sudah bercerai
dengannya. Memisahkan aku dan kakak laki-
lakiku.
"Bunda, lapar!" teriakku dari arah getabako.
Kemudian aku berlari ke arah dapur, dan
menemukan sosok wanita asing yang tengah
berkutat dengan peralatan masak dan bahan-
bahan bakunya; tomat. "Eh … Bunda? De-demi
apapun, kau …" aku berujar ragu, seraya
menunjuk-nunjuknya.
Dulu rambutnya sepunggung, sekarang …
sebahu? Dan … berponi? (Bunda terlihat seperti
sosok kembaranku.)
"Jangan cerewet! Sana makan! Bunda sudah
menyiapkan sup tomat untukmu di meja,"
ujarnya seraya tersenyum kecil. Aku masih
terbengong menatapnya. Dan seakan mengerti
akan kebingunganku, Bunda kembali bersuara,
"Kenapa? Kau terpukau melihat sosok Bundamu
yang masih cantik di usia tua seperti ini? Yaah …
anak muda zaman sekarang 'kan lebih menyukai
tren model rambut pendek," guraunya.
Membuatku berhasil tertawa renyah.
Terkadang Bunda bisa menjadi teman yang
menyenangkan, bukan begitu?
"Habis ini kau pergi mandi, jangan meminta
Bunda untuk menyiapkan air hangat untukmu
lagi. Kau sudah besar!" omelnya lagi, dan kembali
membuat tawaku berubah menjadi horror. I hate
when how she's being a fussy woman. Sigh ….
"Iya, iya!" aku berkelit kesal dan menghampiri
meja makan. 'Cerewet!' batinku, seraya membuka
tudung saji. Senyumku kembali melebar saat aku
menemukan semangkuk sup tomat yang masih
hangat.
Buru-buru kuambil nasi dengan sendok besar
dari rice cooker yang duduk manis di galar dapur,
menghadap Bunda yang terheran melihatku.
"Untuk apa kau mengambil nasi sebanyak itu?"
tanyanya dengan nada menginterogasi.
"Karena aku lapar, Bunda." Aku menjawabnya
polos.
Bunda kembali mendengus, setelah itu kurasakan
hawa tak enak yang merasuki tubuhku.
"Dengar ya, Sasuke! Makan terlalu banyak itu tidak
baik untuk kesehatanmu! Alangkah baiknya jika
kau makan sebelum lapar dan berhenti sebelum
kenyang! Kekenyangan itu tidak enak, tahu! Kau ini
ceroboh sekali sih!" omelnya seraya menjewer
kupingku kencang. Aku meringis.
"Aduduh! Iya, iya! Bunda cerewet!"
Bunda cerewet! Bunda selalu mengomel!
.
… makanan yang tidak kusukai.
Hari itu aku memprotes Bunda ketika beliau
menjemputku sepulang sekolah. Aku bersungut-
sungut kurang ajar sedang beliau memutar bola
matanya bosan. Aku benci saat Bunda tak
mengacuhkanku.
"Bunda! Kenapa kau tega membekaliku dengan
ramen instan kuah miso? Aku tidak suka!" kelitku
seraya membanting pintu mobil dan
menghempaskan bokongku di jok sebelah
Bunda. Beliau menatapku sebentar, kemudian
menyalakan mesin. Kembali tak mengacuhkanku.
Aku memanyunkan bibirku.
Jika sekarang aku membayangkan kejadian itu,
maka aku baru menyadari kalau; aku anak manja.
"Bundaaa~!" geramku lagi, saat mobil mulai
melaju dan Bunda mengalihkan konsentrasi
penuhnya di jalanan. 'Ya ampun! Kadang cerewet
kadang pendiam! Labil sekali sih Bunda!'
"Jangan banyak protes. Makan saja seadanya,
Sasuke!" katanya kembali bersuara. Aku mendelik.
"Tapi ramen itu menjijikkan! Tidak en—"
Bunda memotong pembicaraanku seraya
mengerem mobilnya saat lampu lalu lintas
menunjukkan warnanya yang merah menyala. Ia
menjewer telingaku lagi dengan keras,
membuatku kembali meringis kesakitan.
"Kau ini! Jangan memaki makanan! Kalau tidak
suka, kautinggalkan saja, atau kauberikan pada
orang lain! Dengar ya, anak manja! Banyak orang
di sana yang memakan makanan tak layak!
Mereka memungut nasi aking, lauk pauk bekas di
tempat sampah, namun mereka tetap
mensyukurinya! Harusnya kau jauh lebih
bersyukur bisa lebih beruntung dari mereka!
Tuhan masih melimpahkan rahmat dan nikmat-
Nya pada kau!" omelnya panjang lebar dengan
suara tinggi. Aku merinding.
Namun dalam hati aku mengutukinya.
'Bunda cerewet! Bisanya hanya mengomel tak
jelas dan tak pernah mau mendengarkan
pendapatku! Ngomel saja sesukamu!'
.
.
.
Saat aku akan hadir ke suatu tempat.
Malam minggu seharusnya menjadi malam
kemerdekaan bagi para anak remaja sepertiku.
Namun kali ini tidak, bahkan aku harus
membatalkan kencanku dengan Sakura —
kekasihku selama setahun ini. Karena dipaksa
Bunda datang ke 'acara penting' miliknya.
Aku bersungut-sungut dan menggerutu saat
mengobrak-abrik lemariku. Kala itu Bunda
memasuki kamarku, tanpa permisi. Membuatku
kaget setengah mati. Walau aku anak
kandungnya, tetap saja aku malu bertelanjang
bulat di hadapannya! Aku bukan bocah lagi.
Lagi, Bunda memakai pakaian formalnya. Poninya
dijepit di atas telinga kanan dan kirinya. Rambut
pendeknya disisir rapi ke belakang, dan beliau
mengenakan bandana hitam. Sekilas terlihat
seperti … Kagamine Rin. Haha. Sayang sekali, Rin
yang satu ini adalah Rin yang sudah uzur, berhati
es dan berwajah garang. (Ups. Kurang ajar.)
"Kau lama sekali sih, Sasuke!" protesnya seraya
memunguti pakaianku yang berserakan di lantai.
Aku mendengus kesal. "Memangnya kau sedang
mencari baju apa? Kemarin Bunda mencuci
beberapa pakaianmu," lanjutnya.
"Aaah! Aku mencari kaos oblongku yang
kemarin, Bunda! Yang bergambarkan bendera
Polandia. Baju itu baru kubeli tiga hari yang lalu
saat EUFA 2012 mulai! Itu sedang trendy dan
booming di kalangan remaja, Bunda!" aku berkata
cerewet, namun tak berhenti mengacak-ngacak
seisi lemari. Membuat Bunda menggeram
semakin kesal.
"Grrh … kau ini dodol sekali, Sasukeee! Ini acara
formal! Bunda akan mengenalkanmu dengan
teman-teman perusahaan nanti! Kelak kau akan
menjadi penerusku di sana. Setidaknya
berpakaianlah dengan rapi dan dan sopan! Bukan
blangsakan seperti preman manja seperti itu!
Lagipula percuma 'kan kalau kau sok macho
tahunya masih belum bisa pisah ranjang sama
Bundamu!" omelnya emosi, panjang, lebar,
padat, dan jelas.
Aku tersindir mendengar kata-kata belakangnya.
Aku … aku memang masih seranjang dengan
Bunda. Walau aku punya kamar sendiri, aku
selalu menyelinap masuk ke kamarnya. (AKU
TIDAK MELAKUKAN 'APA-APA' PADANYA!)
"Bunda cerewet ah! Mengatur ini dan itu, aku
bosan. Aku butuh kebebasan, tahu!" sungutku
seraya memanyunkan bibirku. Dan aku kembali
terkena jeweran mautnya. Kali ini Bunda
memelintir daun telingaku. Aku berteriak tertahan.
"Jangan protes! Itu yang terbaik untukmu, tahu!
Cepat pakai ini!"
—dan beliau melemparkan sebuah kemeja putih
gading, blazer, dan celana panjang hitam ke
wajahku. Aku menatapnya nyalang. Kembali
merutukinya dalam hati setelah wanita garang itu
keluar dari kamarku.
'Bunda cerewet! Bunda selalu mengomel! Bunda
selalu mengatur ini-itu! BUNDA PAYAH!'
.
.
.
Saat beliau sakit.
Ketika itu Bunda terbaring lemah di ranjangnya.
Teman-temanku menjenguk Bunda, mereka
semua berkumpul di kamar Bunda. Aku duduk di
samping Bunda, menggenggam tangannya yang
kala itu terlihat lebih pucat, kurus, dan dingin.
Walau Bunda menyebalkan, aku tak bisa
membencinya. Aku … aku tak bisa …!
"Bunda …" aku berujar serak.
Bayang-bayang buruk menghantui pikiranku. Aku
takut Bunda tak akan pernah menemaniku lagi.
Aku takut Bunda diambil oleh-Nya. Aku takut …
aku tidak siap menjadi anak piatu.
Maka pada saat itu, di hadapan teman-temanku,
aku menangis. Tangisanku sangat konyol.
Membuat mereka tertawa cekikikan dan Bunda
tertawa kecil. Aku tak peduli. Tak peduli dengan
ingusku yang sudah meler membasahi telapak
tanganku sendiri.
"Kau cengeng!" ledek Bundaku seraya menjitak
kepalaku, mengacak-acak poniku yang menutupi
dahiku. Namun setelahnya, beliau meraih
tubuhku, merengkuhnya erat. (Tak keberatan
akan bajunya yang sudah basah dan berwarna
hijau terkena ingusku.)
.
.
.
Bunda cerewet. Bunda selalu mengomel. Bunda
selalu mengatur ini dan itu. Tapi kata Bunda, itu
semua dilakukannya semata karena beliau
mencintaiku.
Aku masih bersyukur memiliki ibu. Karena tanpa
beliau, mungkin sekarang aku menjadi seorang
yang merana. Benar kata orang-orang, 'ibu itu
muncul tiga kali sebelum ayah'. Lantas artinya;
yang harus kita hormati dan sayangi adalah; Ibu,
Ibu, Ibu, baru setelahnya Ayah. (Dan sekarang
aku mengerti maksud pepatah itu.)
Walau menyebalkan, tapi aku sangat menyayangi
Bunda.
Aku mencintaimu, Bunda!
I love you more than anything!
—FIN—

0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | SharePoint Demo