Seseorang tidaklah terhambat pergerakannya jika
ia tidak terbatasi oleh sesuatu yang semu.
Seseorang tidaklah menghentikan langkahnya jika
ia tidak terbatasi oleh sesuatu yang menutup
keinginannya.
Dan, seseorang tidaklah menghentikan
perasaannya jika ia tidak terbatasi oleh sesuatu
yang menutup segala kemungkinan.
.
.
.
Ia ada di mana-mana. Di sekeliling kita, di dalam
pikiran kita, dan kerap berjalan bersisian dengan
kita. Setiap hari, ia selalu menyamakan langkah
dengan kita. Tidak lebih dan juga tidak kurang.
Ia ada di sisi yang terdekat dengan kita. Ia adalah
bentuk yang nyata, aman, dan bisa kita andalkan
kapanpun kita menginginkan kehadirannya.
Ia hanya tidak bisa merengkuh diri kita secara
seutuhnya saja.
.
.
.
"Hei," suaramu menyeruak kecil, mencoba
mencari celah pembicaraan di kala siang hari
tengah bersinar terik. "Kau menyakitkan, tahu?"
Ia hanya diam. Tak bicara. Angin kering
berhembus, menerpa kulit lembutmu. Sesaat,
kau bangkit dan meninggalkan dirinya di
belakang. Seraya bergumam kecil, kini kau
benar-benar telah menciptakan jarak yang
memisahkan antara dirimu dengan dirinya.
Namun, ia tetap tak bergeming.
Kesal, kau kembali ke sisinya dan menarik
lengannya, dan menyatukan dirinya dengan
dirimu.
"Ayo, kita pergi. Tak mungkin aku meninggalkan
dirimu di sini."
Ia kembali diam, dan mengikuti langkahmu.
Kalian menapaki lantai bumi dengan serempak,
menciptakan suara berdentum yang halus.
Bunga-bunga yang sudah nampak layu
bergoyang, siap untuk ditumpas oleh angin
kapanpun bunga itu menginginkannya.
Sama dengan dirinya.
.
.
.
Lain waktu, kau kembali mencelanya. Kalimat
yang kau layangkan untuk dirinya, semua penuh
dengan konotasi negatif yang menyakitkan.
Ia hanya diam.
"Kau kenapa, sih?" teriakmu gusar, tidak suka
dengan sikapnya yang pasif dan tidak merespon
pertanyaanmu. Emosionalitasmu meningkat
tinggi, siap untuk memberikan kenyataan pahit
yang selama ini selalu kelu untuk lidahmu
lontarkan.
Namun, lagi-lagi kau menahannya. Kau kembali
mengunci rapat kalimat yang hendak kau berikan
untuknya. Kau berdesah pelan, dan kembali
meraih dirinya ke dalam dekapan hangatmu.
"Ayo, kita pergi. Tak mungkin aku meninggalkan
dirimu di sini."
Ah, kalimat itu lagi.
.
.
.
Pagi yang cerah menyambutmu. Kau melihat
dirinya yang masih dengan setia terduduk manis
di sisimu, tetap tak mengeluarkan sepatah
katapun. Kau menatapinya dalam diam, dan
sedikit demi sedikit memupuk kalimat, yang kau
yakin, suatu hari nanti akan kau lontarkan
untuknya.
"Selamat pagi." sapamu, ringan. Ia tetap diam.
Bahkan, ia tak membalas sapaan ramahmu
dengan anggukan. Jangankan kalimat, bahasa
isyarat tubuh saja tak ia lakukan.
Kembali berdesah, kini kau mengacak suraimu
dan membiarkannya saling bergumul satu sama
lain. Kusut, kering dan juga tidak nyaman.
Sama, seperti dirinya.
Dengan langkah gontai kau menuju sebuah
kamar tempat kau akan membasuh tubuh,
membiarkan butiran air hangat menuruni
tubuhmu, dan turut menyapu kegusaran yang
selama ini selalu bersarang di dalam dirimu.
Di dalam hatimu.
Tersentak, kau berhenti menyapukan cairan
kimiawi dengan keharuman lembut yang sedari
tadi kau usapkan ke seluruh tubuh. Pikiranmu
melayang bebas, dan atensimu jatuh kepada
dirinya.
Kau mempercepat kegiatan membasuhmu dan
segera menemui dirinya yang masih terduduk
manis di sisi tempat tidur, tengah melihatmu
yang terlihat berbeda dan juga segar di pagi hari.
Kau menundukkan kepalamu, dan seuntaian kata
maaf kau ucapkan untuknya. Ia tetap tak
merespon. Namun, ia segera bangkit dari tempat
ia duduk beberapa saat yang lalu dan
menerawang sinar mentari pagi yang
membiaskan cahayanya ke dalam kamarmu.
Sebuah pemandangan yang indah dan
menakjubkan. Selama ini, dirinya tak pernah
bergerak sesuai kemauan sendiri. Ia hanya akan
bergerak ketika menuruti perintahmu. Ia bahkan
tak pernah berkata sepatah katapun,
membuatmu harus mengemban amarah yang
berusaha untuk kau redam sepanjang hari.
"Tidak apa."
Kalimat singkat, namun menyentuh. Kau merasa
dimaafkan. Kau tak peduli lagi dengan asal usul
alasan mengapa ia baru mau berkata di saat-saat
penyesalanmu. Dirinya tersenyum, dan meraih
pundakmu, mengusapnya, dan merangkulmu
dalam lingkaran dirinya yang hangat. Setetes air
mata nampak jatuh di sela-sela tulang pipimu,
dan untuk sesaat pipimu menyiratkan warna
merah yang lembut.
Kau tersenyum untuknya, dan meraih lingkaran
dirinya.
"Kau memang menyakitkan," kau melontarkan
kalimat tabu itu lagi. "Namun, aku merasa
bersyukur karena bisa mencintai Sasuke dengan
kehadiranmu, hatiku. Tanpamu, aku pasti tidak
akan bisa merasakan perasaan yang berliku ini.
Segala macam perasaan kau hadirkan untukku.
Kau mengenalkan padaku akan rasa senang dan
bahagia dikala mencintai sesosok Sasuke."
Ia tersenyum, dan kembali mengusap
pundakmu, "Ada kalimat lain yang ingin kau
sampaikan, Sakura?"
Kau mengangguk, dan kembali membuka katup
bibir merah kecilmu.
"Kau juga mengenalkanku dengan rasa sakit
dikala mencintai Sasuke."
Dirinya mengangguk, puas dengan jawabanmu.
Sekali lagi, ia bangkit dan menerawang pada
permata kehijauanmu yang sudah basah oleh air
mata, dan ia memberimu pujian.
"Emeraldmu tak pernah berubah. Selalu indah
dan enerjik, meskipun ia sudah tenggelam
kepada kubangan kesedihan yang diciptakan oleh
dirinya sendiri."
Kau tersenyum, dan merengkuh dirinya.
Perlahan, ia menghilang. Kau menaruh kedua
telapak tanganmu di dada, dan tersenyum kecil.
Dirinya-lah yang telah memberikanmu
emosionalitas.
Meskipun Sasuke hanyalah seorang yang
bagaikan bintang untuk bisa kau raih, namun kau
merasa bersyukur sudah mampu untuk
mencintainya hingga sejauh ini.
Karena, hatinya-lah yang membuatmu mampu
mengenal perasaan ini.
0 komentar:
Posting Komentar