Total Tayangan Halaman

01/06/12

Pathetic

Tahun 1930—Jepang, Tokyo.
Waktu dan di tempat itu dikenal... dengan sistem
perbudakan boneka.
.
.
A fiction for ALM event
.
.
Boneka tidak memiliki hak atas kebebasan.
Boneka harus memiliki minimal seorang majikan
manusia.
Karena jika tidak memiliki majikan, semua boneka
tidak berguna untuk hidup.
Mereka harus dihancurkan.
.
.
Genre : Hurt/Comfort/Crime/Romance/
Suspense
.
.
.
Awalnya... boneka yang dimaksud itu adalah
buatan manusia.
Namun, entah sejak kapan...
Boneka itu berubah menjadi manusia sendiri.
.
.
—Lebih tepatnya manusia putus asa yang sudah
tidak memiliki tujuan hidup.
Mereka memilih menjadi boneka, karena dengan
begitu mereka merasa masih dibutuhkan untuk
hidup.
.
.
.
Warning : AU, Rate M for violence, &
language etc
.
.
.
Tapi sayangnya, masih ada satu peraturan yang
tidak akan pernah hilang.
Saat majikan sudah tidak membutuhkan boneka
lagi, maka mereka akan dibuang, diasingkan,
diberikan kepada orang lain, bahkan yang jauh
lebih parah—
—nyawa mereka akan direbut paksa.
.
.
Main Character(s) : Akasuna no Sasori &
Haruno Sakura
.
.
Karena itulah...
Semua manusia boneka waktu itu merasa
ketakutan.
Rasa takut yang mengerikan saat mereka
menyadari hari dimana sang majikan
membuang mereka pasti akan datang.
Manusia bodoh yang memilih menjadi boneka,
sudah memberikan hak kebebasan mereka pada
sang majikan.
Mereka menjadi tidak lebih dari binatang yang
diperlakukan seenaknya.
Hidup di tengah ketakutan tak berujung hingga
akhir hayat mereka.
Ya...
.
.
.
...itu seperti aku.
.
.
.
PATHETIC
.
.
.
Seorang penyanyi yang mengenakan kimono
bermotif daun mapple berwarna coklat dan dasar
berwarna coklat muda itu menyanyikan lagu
enka dengan suaranya yang merdu. Semua
orang begitu terpesona akan kecantikan dan
keanggunannya. Mereka terhanyut ke dalam lagu
itu bersama sang penyanyi. Ah, mereka yang
kusebutkan di sini adalah kalangan bangsawan.
Para boneka yang dibawa orang-orang kaya itu
sendiri terlihat duduk di bawah, tepat di samping
kaki majikannya masing-masing.
Kuabaikan pemandangan memilukan dimana
majikan-majikan keji itu memperlakukan boneka
mereka seperti menendang tubuh mereka atau
menginjak salah satu anggota tubuh mereka agar
menuruti perintahnya. Walau kukatakan ini
pemandangan yang memilukan, sebenarnya ini
adalah pemandangan biasa sehari-hari di tempat
pengadilan para boneka. Apalagi untukku yang
sudah beberapa kali pindah majikan di tempat ini.
Harus kuakui meskipun aku merasa jijik dengan
pemandangan ini, aku sudah cukup terbiasa.
Seperti sekarang, aku akan kembali berpindah
majikan. Pada majikanku yang sebelumnya, dia
menggunakanku sebagai pelayan pribadinya.
Laki-laki tua sialan itu tidak pernah melewati satu
hari pun tanpa memberiku siksaan baik fisik
maupun mental. Untunglah aku tidak bersama
dia cukup lama seperti majikan-majikanku yang
sebelumnya. Pria tua tersebut meninggal karena
kanker ginjal yang dideritanya. Kurang lebih aku
bersama dia hanya empat bulan.
Sebenarnya keadaanku sempat terancam antara
hidup dan mati. Seperti yang telah kalian ketahui,
aku adalah boneka. Dan boneka yang sudah
dibuang atau tidak memiliki pemilik, harus
dibunuh. Saat itu aku sudah pasrah melihat
kematian di depan mataku. Namun, tepat lima
detik sebelum pisau pemenggal kepala dijatuhkan
untuk memisahkan kepalaku dari tubuhku, salah
satu penjual boneka mendapat telepon.
"Aku ingin mempunyai boneka yang memiliki
rambut berwarna soft pink."
Telepon itu membuatku mengernyitkan alis.
Sebelumnya tidak pernah ada yang meminta
boneka dengan syarat yang spesifik. Begitu
penjual boneka tersebut menyadari hanya aku
satu-satunya boneka yang memiliki rambut
berwarna soft pink, dia langsung menarikku
keluar dari tempat eksekusi. Hingga... di sinilah
aku sekarang. Kembali pada tempat penukaran
boneka.
Majikan yang aneh. Aku dan sang penjual boneka
sudah menunggu lebih dari satu jam namun
majikan baruku itu belum datang juga. Karena
bosan menunggu, laki-laki berambut keperakan
ini sesekali menarik rantai yang membelenggu
leherku untuk mempermainkanku. Seolah aku
adalah anjing yang bisa dia mainkan seenaknya.
Dia tertawa puas setiap mendengar rintihanku.
Sungguh, aku heran pada Kami-sama yang
menciptakan manusia gila seperti dia.
"Aku tidak mau menerima boneka yang rusak,"
penjual boneka itu menghentikan gerakannya
dan segera menoleh. Suara ini... begitu dingin.
Perlahan tapi pasti aku pun ikut menoleh. Aku
yang memang duduk di atas lantai—berbeda dari
kalangan atas yang duduk di atas kursi empuk
dan hangat—menatap kaki di depanku lalu
mendongak untuk menatap wajah dari pemilik
kaki tersebut, "apa perlu aku cukup membayar
setengah dari yang dijanjikan?" tanyanya dengan
nada dingin lagi.
"Ah jangan—ma-maksud saya, tolong maafkan
atas perbuatan saya yang semena-mena. Maaf,"
aku sedikit terkejut melihat penjual boneka yang
selalu terlihat santai itu kini begitu ketakutan
setengah mati. Orang-orang di sekitarku yang
tadinya melihat adegan tersebut, langsung
kembali pada kegiatan masing-masing seolah
tidak ada yang terjadi. Bukan hanya itu, wajah
mereka terlihat begitu pucat.
Laki-laki yang memiliki rambut berwarna merah
dan bola mata berwarna coklat hazelnut tersebut
kini beralih menatapku. Wajahnya tidak
menunjukkan ekspresi apapun, tapi aku tahu...
kedua matanya sama seperti yang lain. Tatapan
mata yang sangat jijik padaku. Secara tak
langsung, dia memperingatkanku agar jangan
sampai berbuat macam-macam padanya.
Melihat itu, aku terdiam dan menunduk.
Setidaknya sampai tangannya tiba-tiba menarik
rantaiku hingga tubuhku terjatuh tepat di depan
kakinya.
"Ikut aku."
Perintahnya yang begitu singkat memiliki nada
yang tidak bisa kubantah. Kulihat boneka-boneka
lain menatapku takut—ah, mungkin juga tatapan
iba.
Aku memejamkan mata perlahan. Aneh...
meskipun aku sudah terbiasa diperlakukan seperti
ini, ada hal lain yang membuat tubuhku bergetar
ketakutan. Aku tidak mengerti. Yang jelas, air
mata mulai menggenang di pelupuk mataku.
Dengan gerakan pelan, aku mulai mencengkram
rantai di tanganku. Berharap mematahkan rantai
besi ini lalu lari sejauh-jauhnya dari dia. Kenapa?
Kenapa? Sudah sangat lama, entah kapan terakhir
kali aku memohon kebebasan pada Yang Maha
Kuasa di bumi ini.
Kedua coklat hazelnut itu terus menatapku dingin,
seolah tidak ada kehangatan di sana. Tarikan
kedua pada rantai yang membelengguku
membuat aku tersadar dan kembali pada alam
sadarku. Aku mencoba bangkit dengan susah
payah, hingga akhirnya dia menarikku lagi. Kami
berdua terdiam beberapa saat sampai dia yang
lebih dulu berjalan di depanku. Aku mengikutinya
dari belakang, terus menatap punggungnya yang
tegap.
Siapa... orang ini?
.
.
.
.
#
Untuk yang ke sekian kalinya, aku memilin ujung
lengan kimono merah muda yang kukenakan.
Sejak sampai di rumah majikan baruku ini, kami
terus berdiam diri. Padahal majikan-majikanku
yang sebelumnya akan langsung memberi
perintah padaku saat itu juga setelah mereka
membayar lunas atas diriku. Namun laki-laki
berambut merah ini... menatapku saja enggan.
Aneh.
Bukan hanya itu, semenjak kakiku menginjak
lantai rumah ini, aku belum melihat seorang pun
selain majikanku itu. Saat pertama kali masuk,
tanpa kata-kata yang berarti, beliau hanya
menunjuk sebuah kamar padaku dari kejauhan.
Secara tak langsung kuartikan itu sebagai isyarat
kalau kamar yang beliau tunjuk adalah kamarku
dan aku bisa berganti baju di sana. Aku
membalas isyaratnya tersebut dengan anggukan.
Setelah memakai kimono yang tersedia di dalam
kamar, aku mencoba menelusuri rumah yang
bisa dibilang cukup luas ini untuk mencari apakah
ada orang lain selain majikanku. Namun hasil
yang kudapat adalah nihil. Di tengah
kebingungan, suara seseorang menginterupsiku
dari belakang, "Sedang apa kau disini?"
Aku tersentak kaget. Dengan cepat aku
membalikkan tubuh dan menatapnya, "Ti-Tidak
gosshujin-sama... saya tidak melakukan apa-
apa..." jawabku dengan gugup. Berhubung aku
tidak tahu siapa namanya, jadi untuk sementara
kupanggil seperti itu dulu. Sesekali kulirik
bagaimana ekspresi wajahnya saat mendengar
jawabanku. Tapi sepertinya tetap tak ada
perubahan.
"...Sasori," belum sempat aku bertanya lagi,
beliau kembali melanjutkan ucapannya, "Itu
namaku, jangan panggil aku dengan sebutan
selain nama itu," setelah mengatakannya, Sasori -
sama meninggalkanku sendiri yang terpaku di
koridor rumahnya. Beberapa saat kemudian, aku
menunduk lemah.
"Hai... Sasori-sama," ucapanku menghentikan
langkahnya sepersekian detik. Namun tanpa
respon yang berarti, dia kembali berjalan
menjauhiku. Aku kembali hanya menatap
punggungnya.
Setelah lama terdiam, aku baru tersadar. Dengan
cepat, aku berlari mengejarnya. Suara langkahku
yang keras dan menggema—mengingat rumah
ini terbuat dari kayu jati yang kuyakin kualitasnya
pasti paling mahal—membuatnya menghentikan
langkahnya. Sasori-sama menoleh sedikit padaku
dan melirikku dari ujung matanya.
"A... go-gomennasai..." entah kenapa aku malah
meminta maaf. Mungkin aku merasa telah
mengganggunya. Aku menunduk pelan,
memikirkan bagaimana aku akan
mengatakannya, "Anu... apakah ada yang... bisa
saya lakukan untuk anda?" tanyaku kaku. Ini
pertama kalinya aku menanyakan apa yang
harus kulakukan pada majikanku. Seperti yang
telah kukatakan, biasanya para majikanku yang
langsung memberikanku tugas menumpuk
tanpa memikirkan keadaanku.
Bukan berarti aku adalah workaholic atau
semacamnya, hanya saja... aku merasa
majikanku ini berbeda dari para majikanku yang
sebelumnya.
Beliau menatapku tajam. Membuatku berkali-kali
menunduk karena takut menatapnya, "Belum,"
hanya itu jawaban yang beliau berikan padaku.
Aku menatap bingung, namun sekali lagi beliau
langsung pergi meninggalkanku. Secara tak
langsung, aku seperti merasa beliau menjaga
jarak denganku.
Kalau memang beliau tak suka padaku, kenapa
beliau membeliku? Ah bodoh, aku lupa bertanya
padanya alasannya menginginkan boneka
berambut soft pink. Tapi sepertinya itu sudah
tidak penting lagi.
Rumah Sasori-sama ini tergolong besar. Alasan
mengapa hanya beliau sendiri yang tinggal di
rumah sebesar ini memang masih misteri. Tapi
yang jelas, itu bisa menjadi alasan mengapa
rumah ini begitu penuh akan debu. Dengan
inisiatif sendiri, aku mengambil peralatan untuk
membersihkan rumah ini. Minimal, aku bisa
mengurangi debu dan sarang laba-laba yang
mengganggu pemandangan bagi siapapun yang
melihatnya. Dan sebenarnya aku juga penasaran
apakah Sasori-sama tidak terganggu dengan
pemandangan yang kotor ini?
Pertama-tama aku menyapu seisi ruangan.
Setelah cukup bersih, aku siap untuk mengepel.
Kutaruh ember berisi air yang sudah kucampur
dengan cairan pembersih lantai di samping
tubuhku. Aku duduk bersimpuh seraya
memasukkan lap ke dalam ember setelah itu
mengeluarkannya kembali dan memerasnya.
Setelah cukup lembab, aku mulai menaruh lap itu
ke atas lantai kemudian mengusapkannya.
Terus begitu berkali-kali, hingga tak terasa aku
sudah bekerja selama tiga jam dan aku baru
membersihkan setengah dari rumah ini. Aku
menghela napas dan meregangkan tubuh,
rasanya memang melelahkan tapi setidaknya
rumah ini mulai sedikit nyaman untuk dilihat.
Setelah istirahat beberapa waktu, aku akan
kembali melanjutkan pekerjaanku.
#
.
.
.
.
.
.
#
Tak terasa, seminggu sudah berjalan sejak saat
itu. Tidak ada perubahan yang spesial,
hubunganku dan Sasori-sama masih sama
seperti pertama kali aku datang ke rumahnya.
Sasori-sama bekerja sebagai pemilik suatu
perkebunan di Shibuya, tiap pagi beliau berangkat
lalu pulang pada malam harinya. Setiap hari aku
ikut bangun pada jam yang sama dengannya
untuk menyiapkan sarapan dan berbagai hal
yang beliau butuhkan dalam pekerjaannya.
Aku masih belum berani bertanya lagi sejak
terakhir aku bertanya padanya. Wajahnya yang
datar—seolah tidak ada sedikit pun emosi di sana
—selalu membuatku kaku setiap bertatapan
dengannya. Bola matanya yang berwarna coklat
hazelnut sebenarnya terlihat ramah jika
diperhatikan baik-baik namun tetap saja,
perbedaan derajat di antara kami membuatku
berpikir untuk tidak seenaknya mengajak beliau
berbicara.
Hari ini seperti biasa, aku akan kembali
membersihkan rumah. Ketika aku membereskan
beberapa tanaman di halaman tengah, entah
kenapa kedua bola mata hijau emerald milikku
melirik ke lorong yang biasa Sasori -sama lewati.
Di ujung lorong itu memang ada suatu ruangan
yang kuketahui merupakan kamar pribadi Sasori-
sama.
Kalau dipikir-pikir, aku belum pernah
membersihkan kamar beliau. Sasori-sama juga
tidak pernah menyuruhku untuk melakukan hal
tersebut. Berbagai pertanyaan memenuhi
kepalaku, rasa penasaran yang hebat
membelenggu diriku. Aku mengernyitkan alis
dan perlahan tapi pasti aku mulai melangkah
menuju kamar di ujung lorong misterius
tersebut.
Begitu aku sampai di depan pintu kamar Sasori-
sama, rasa penasaranku kini bertambah dengan
rasa takut. Aku menelan ludah, memastikan
apakah aku akan benar-benar memeriksa
kamarnya. Ah tidak, tidak, aku tidak bermaksud
buruk. Aku hanya ingin memastikan apakah
kamar majikanku itu terjaga kebersihannya. Jika
memang kotor, maka aku akan berinisiatif
membersihkannya—hanya itu, tidak lebih!
Setelah satu tarikan napas panjang, akhirnya aku
membuka pintu kamar Sasori-sama dan ternyata
tidak dikunci. Suara pintu terbuka menggema di
dalam ruangan yang ternyata tidak terlalu luas
itu. Gelap sekali, hanya siluet beberapa benda
yang bisa kulihat. Setelah aku meraba-raba
tembok di sampingku, akhirnya aku mendapat
tombol lampu dan menekannya. Lampu pun
menyala, aku tersenyum kecil karena akhirnya
dapat melihat jelas.
Di luar dugaanku, kamar ini begitu lenggang.
Tidak banyak atribut-atribut berlebihan seperti
kamar majikan-majikanku yang sebelumnya.
Aku melangkah semakin ke dalam untuk melihat
keadaan kamar. Sprei kasur Sasori-sama tertata
rapi—bahkan menurutku, terlalu rapi. Seolah
beliau tidak pernah tidur di atas kasurnya yang
terlihat nyaman itu. Hanya sedikit debu
menempel di sudut-sudut tertentu. Benda-benda
yang ada di sana juga sepertinya terawat dengan
baik. Aku menghela napas lega, sepertinya aku
tidak perlu membersihkan kamar beliau.
Saat akan pergi, langkahku terhenti melihat
gorden di ujung tembok sana. Aneh, padahal
dari posisi kamar, harusnya jendela berada di
tembok yang berlawanan arah. Lalu untuk apa
gorden itu? Kakiku bergerak menuju gorden
berwarna merah tersebut, untuk beberapa saat
aku merabanya. Dengan sekali tarikan, aku
membuka gorden itu. Kedua bola mataku
membulat melihat pintu yang terlihat begitu
usang dan sangat rusak. Bahkan di beberapa
bagian, kayunya sudah keropos karena dimakan
rayap.
Aku menyentuh pintu mencurigakan itu dengan
ujung jariku dan aku tersentak saat pintunya
terbuka. Wajahku berubah tegang menatap
kegelapan di balik pintu tersebut. Setelah menelan
ludah, aku mendorong pintu itu untuk
membukanya lebih lebar. Dan saat itulah, aku
melihat—
"KYAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAA!"
—tumpukan mayat.
.
.
.
.
.
.
.
Demi Kami-sama! Apa yang kulihat ini benar
adanya? Tubuhku seolah mati rasa saat itu juga.
Aku ingin berlari tapi tidak bisa. Seolah kakiku
dipaku di tempat itu. Air mataku menggenang
dan siap mengalir. Kenapa? Kenapa? Kenapa ada
banyak mayat di sini? Kurang lebih sekitar
sepuluh orang. Tak hanya itu, tubuh mereka
semua kaku seolah diawetkan. Aku tidak
mencium bau-bau aneh, berarti
kemungkinannya besar mereka diberi suatu obat
khusus agar tidak mengeluarkan bau.
"Tidak... tidak..." aku menangis, semakin lama
semakin histeris. Aku ingin lari. Meninggalkan
rumah ini. Namun kakiku enggan menurutiku,
bahkan sekarang aku malah terjatuh. Tubuhku
bergetar hebat, dadaku terasa sesak. Apa Sasori-
sama yang melakukan ini semua? Kenapa? Apa
aku... akan berakhir seperti mereka?
"Ah... kau melihatnya."
Suara yang sangat kukenal seolah menusuk
dadaku begitu kuat. Dengan takut dan tubuh
yang terus bergetar, aku menoleh ke belakang.
Kedua bola mataku membulat semakin kecil
melihat majikanku itu berdiri tepat di depan satu-
satunya pintu keluar yang tadi kulewati. Napasku
semakin memburu ketakutan melihat beliau
mengunci pintu itu dan mendekatiku dengan
tenang.
Aku menyeret paksa tubuhku untuk mundur.
Kemungkinannnya kecil aku bisa melarikan diri,
tapi setidaknya aku akan berusaha. Kulirik jendela
di seberangku. Bagaimana? Bagaimana caranya
aku ke sana?
"Argh!" aku tersentak begitu tangan Sasori-sama
mencekik leherku dan memaksa tubuhku untuk
berdiri. Beliau juga menekan tubuhku pada
tembok di belakangku. Aku terus meronta-ronta
kesakitan. Kakiku mati-matian mencoba untuk
menendang mundur tubuhnya namun sia-sia.
Kekagetanku semakin menjadi ketika tiba-tiba
Sasori-sama mencium bibirku dan lidahnya
melesak ke dalam mulutku.
Harus kuakui. Sebagai boneka, aku sudah
menjadi kotor selama bertahun-tahun. Aku tidak
akan menyangkal jika ada yang bertanya padaku
apakah para majikanku terdahulu pernah
menyentuhku. Yang merasakan hal ini bukan
hanya aku, boneka-boneka lain pun sama.
Namun, di saat baru saja melihat tumpukan
mayat di kamar majikanmu, aku yakin kalian
juga tidak akan merasa tenang walau sudah
terbiasa melakukan hal ini. Air mataku menetes
ketika aku mulai bisa merasakan rasa karat di
dalam mulutku. Rasa karat yang tak lain dan tak
bukan berasal dari cairan darah yang keluar dari
luka akibat ciuman yang begitu kasar ini. Dengan
segala tenaga yang tersisa, aku mendorong
paksa tubuh Sasori-sama lalu tubuhku pun
merosot jatuh.
Beliau menatapku dalam diam, sementara aku
terengah mencoba mengumpulkan oksigen
sebanyak-banyaknya. Kedua tanganku menahan
tubuhku agar tidak jatuh terbaring di atas lantai.
Kami berdua terdiam, hanya suara detik jarum
jam yang mengisi keheningan di antara kami.
Langkah kaki Sasori-sama yang terdengar
membuatku mengangkat kepalaku. Beliau
berjalan menuju tumpukan mayat itu. Aku masih
menatap tegang saat beliau menarik mayat
perempuan berambut hitam panjang.
Sekarang yang kulihat adalah coklat hazelnut milik
beliau yang sangat hampa. Seolah tidak ada
pantulan cahaya ataupun suatu hasrat kehidupan
di sana. Senyum yang beliau keluarkan
setelahnya pun terlihat sangat kosong. Tidak ada
makna yang mendalam, senyum itu begitu
palsu.
Sasori-sama kini memeluk mayat wanita
berambut hitam panjang itu. Senyum masih tak
hilang dari wajahnya. Hingga kini beliau
menatapku, "Sakura, lihat..." aku tertegun. Ini
pertama kalinya beliau memanggil namaku, "...ini
kaasan. Dia cantik bukan?"
Lagi-lagi tubuhku menegang. Itu... ibunya?
"Ah, lalu ini—" Sasori-sama menarik tangan
mayat laki-laki berambut mirip sepertinya dan
sedikit kecoklatan, "—adalah tousan," setelah
mengucapkan itu, dia kembali tersenyum lebar
hingga kedua matanya menyipit.
Bibirku terasa begitu kaku. Aku tidak tahu apa
yang harus kukatakan untuk membalas semua
ucapannya. Beliau terlihat begitu bahagia,
meskipun aku tahu beliau memaksakan
senyumnya. Aku mengepal kedua tanganku di
atas lantai dan menundukkan kepalaku sesaat
sebelum akhirnya aku kembali mendongakkan
kepala. Menatap dalam kedua matanya seperti
beliau menatapku sekarang.
"Selain orang tuaku, mereka semua yang ada di
sini... adalah boneka-bonekaku terdahulu
sebelum kau datang," lagi, aku bisa merasakan
getaran di setiap kata-katanya. Namun aku yakin
dari sikapnya, beliau mencoba menyembunyikan
itu semua dariku, "kau tahu? Mereka semua
berjanji padaku, mereka akan bersama denganku
selamanya. Mereka berjanji tidak akan pernah
meninggalkanku. Mereka menyayangiku seperti
aku menyayangi mereka," setelah mengatakan
itu, beliau tertawa puas. Tapi bagiku, tawa itu
terdengar seperti cara tipuan licik untuk menutupi
suatu kebohongan di dalam hatinya.
"Sa-Sasori...sama..."
Aku... sudah tidak merasakan takut lagi. Tubuhku
memang masih bergetar, hanya saja air mata—
entah kenapa—mengalir dari pelupuk mataku.
Tatapan iba dari mataku pun tidak lagi bisa
kutahan.
Aku memejamkan mataku erat. Tawa Sasori-
sama terhenti mendengar isakan yang keluar dari
bibirku. Kenapa? Kenapa aku merasa sakit?
Sekarang majikanku itu lebih terlihat seperti
seorang anak kecil kesepian, yang memaksakan
dirinya untuk percaya bahwa di dunia ini dia tidak
sendiri. Pria berambut merah tersebut terus
menatapku dengan tatapan yang tidak bisa
kuartikan. Dadaku begitu sakit. Aku seperti
melihat refleksi diriku sendiri di masa lalu.
"Sasori-sama..." aku memanggil namanya lagi,
setelah itu aku kembali mengangkat kepalaku.
Tubuhnya sedikit bergeming, sepertinya karena
melihat air mata yang mengalir di pipiku. Kata-
kata formal yang biasa kuucapkan pada
majikanku kini terlupakan begitu saja, "kau...
apakah kau tidak mau menerima kenyataan
bahwa mereka semua telah meninggalkan dunia
ini?" tanyaku miris.
Sasori-sama terlihat tersentak mendengar
pertanyaanku. Dia menggertakkan giginya dan
mengibaskan tangannya, "MEREKA TIDAK MATI!"
teriaknya, "MEREKA TELAH BERJANJI AKAN
BERSAMA DENGANKU SELAMANYA! KARENA
ITU, MEREKA TIDAK BOLEH MATI! MEREKA TIDAK
AKAN MATI!" lanjutnya semakin kencang.
Tubuhku bergetar ketakutan, teriakan Sasori-
sama menggema di ruangan kecil ini membuat
telingaku berdengung.
Sesuai yang kuduga... Sasori-sama, kau—
Dengan berani aku berdiri dari posisi dudukku
hingga aku bisa melihat wajahnya lebih dekat.
Jarak antara kami yang memang tidak terlalu jauh
membuat kami bisa saling mendengar engahan
napas masing-masing. Entah kenapa air mataku
tidak kunjung berhenti.
"Tidak ada yang abadi di dunia ini, Sasori-sama,"
aku menggenggam erat kimono yang menutupi
dadaku. Menarik napas sebanyak-banyaknya
yang aku bisa, "apa kau tidak bisa melihatnya
Sasori-sama? Meskipun tubuh mereka ada di sini,
tapi jiwa dan hati mereka sudah tidak ada! Walau
kau mempertahankan mereka di sini, mereka
tetap tidak akan bisa menepati janji mereka
padamu! Mengertilah Sasori-sama!" aku pun tidak
bisa menahan diri untuk tidak membentaknya.
—kesepian, kan?
.
.
.
.
"A... Argh..." laki-laki beriris coklat hazelnut itu
menjambak rambutnya sendiri. Kedua bola
matanya membulat semakin kecil dan terlihat
bergetar. Beliau terjatuh duduk, erangannya
semakin terdengar jelas, "Argh... Tidak... Diam...
Diam..." racaunya. Aku mengeratkan
cengkeramanku pada kimono yang kukenakan.
"DIAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAM!"
Teriakannya yang tiba-tiba membuat tubuhku
menegang. Bukan hanya itu, Sasori-sama berdiri
dari posisi duduk bersimpuhnya dan langsung
berlari menerjangku. Aku membalikkan tubuhku
dan langsung berlari dengan panik. Majikanku itu
berteriak-teriak di setiap langkahnya membuat
aku semakin ketakutan.
Ketika aku hampir berhasil membuka jendela di
depanku, Sasori-sama dengan brutal menarik
kimono-ku hingga bagian atas dari salah satu
pakaian tradisional kebanggaan Jepang yang
kukenakan itu robek. Aku mencoba menahan
kain-kain yang tersisa untuk menutupi beberapa
bagian pribadiku.
Dengan gemetar, aku menyandar pada tembok
di belakang tubuhku. Sasori-sama meletakkan
kedua tangannya di atas tembok—samping
kanan kiri kepalaku. Aku memejamkan mataku
erat dan menunduk. Terus dan terus aku berdoa,
memohon keselamatan untuk yang kesekian
kalinya pada Kami-sama. Namun setetes air yang
jatuh di atas bahuku membuatku membuka
mata. Aku mendongak, dan kedua bola mataku
membulat melihat Sasori -sama yang juga
menatap wajahku dari atas. Beliau menggigit
bibir bawahnya.
"Sasori...sama..." aku sama sekali tidak bisa
menyembunyikan kekagetanku melihat majikan
baruku ini menangis. Begitu deras, seolah air
mata itu tidak akan berhenti. Kini butiran-butiran
air bening itu mengenai pipiku dan di saat
bersamaan beliau menggertakkan giginya.
"Kau... tahu apa?" tanyanya dengan penuh
penekanan. Alis-alisku tertarik membentuk
tatapan sedih, "Kau... Kau... tidak tahu apa-apa,
kau hanya boneka! Kau... Kau..." setelahnya
beliau masih membuka tutup mulutnya namun
suara tidak lagi keluar. Semuanya seolah
tertahan. Mendengar kata-katanya tadi, aku
memejamkan mataku sejenak.
Aku mencoba tersenyum walau rasanya begitu
perih, "Benar, saya adalah boneka... saya juga
tidak tahu apa-apa..." Sasori-sama berhenti
menggerakkan mulutnya. Beliau menatapku
masih dengan ekspresi yang sama, "lalu, apakah
Sasori-sama akan membunuh saya?" tanyaku
pelan. Sejujurnya... aku takut—
—tapi, di sisi lain aku ingin cepat-cepat
meninggalkan dunia ini.
Pria berambut merah di atasku ini tidak
menjawab pertanyaanku untuk beberapa saat.
Kemudian dia mendengus seakan dia kembali
merendahkanku, "Selalu... Selalu saja seperti ini,"
bisiknya. Aku mengernyitkan kedua alisku, "para
boneka yang menyedihkan... pada akhirnya
kalian pasti akan memohon kematian pada
majikan kalian masing-masing," ucapnya begitu
dingin. Aku terdiam, enggan menjawabnya.
Karena fakta itu tidak sepenuhnya salah.
Kupejamkan mataku lagi dan menarik napas
panjang, "Saya jadi teringat... anda belum
memerintahkan saya untuk melakukan
apapun..." mungkin bisa dibilang aku
membelokkan arah pembicaraan ini—namun,
aku tidak peduli lagi. Kuturunkan kedua tangan
yang menutupi sebagian besar tubuhku yang
terlihat, lalu kembali bertanya padanya, "Apa
permintaan anda?" mungkin setelah ini, seperti
kata-katanya aku akan meminta beliau
membunuhku. Dengan kedua tangannya sendiri.
Dia terdiam menatapku. Tatapannya sama persis
seperti di awal kami bertemu. Bedanya, sekarang
aku berani menantang balik kedua matanya.
Tidak ada lagi rasa hormat, takut, ataupun segan.
Sasori-sama menatapku semakin tajam. Dan
kata-kata yang keluar setelahnya membuatku
menahan napas.
"Sayangi aku."
Hanya dua kata, namun bagiku itu berarti begitu
dalam. Setelah mengucapkannya, dia tidak
langsung menutup mulutnya seolah menunggu
jawabanku. Aku sendiri tidak tahu harus
menjawab apa, lidahku terasa begitu kaku.
Awalnya aku bingung, tapi kucoba untuk
menenangkan diriku.
"Baik."
Kubangkitkan tubuhku seraya mencengkram
kemeja yang ia kenakan. Dengan gerakan pelan,
aku menarik tubuhnya agar pria ini duduk
dengan setengah berbaring di hadapanku.
Sasori-sama tetap menatapku dingin saat aku
merangkak di atas tubuhnya kemudian mulai
mencium bibirnya. Rambutku terjatuh mengenai
pipinya dan sepertinya hal itu membuatnya
menggerakkan kedua tangannya untuk
mengangkat rambutku. Ditahannya rambutku di
samping kepalaku, di saat bersamaan dia
mendalamkan ciumannya denganku.
Aku sedikit tersentak melihat air mata kembali
menggenang di kedua matanya yang terpejam.
Dari belaiannya pada kepalaku pun, aku bisa
merasakan betapa besar keinginannya untuk
disayangi oleh orang lain. Aku melenguh saat
lidahnya menyentuh langit-langit mulutku
membuat tubuhku juga ikut bergetar. Tangannya
bergerak menekan tubuhku dari belakang
sehingga jarak antara kami semakin dekat.
Aku tahu, kemungkinannya besar aku tidak akan
bisa memenuhi permintaannya yang menurutku
sedikit gila. Namun, sebagai boneka ada kalanya
aku benar-benar tidak mempunyai hati. Aku
sudah tidak peduli lagi apa yang akan terjadi
setelah ini. Jika memang dia benar-benar akan
menyayangiku, maka aku akan menyakitinya
agar dia membenciku. Sebagai boneka, aku
merasa aku tidak punya hak untuk disayangi atau
menyayangi.
Tanpa tahu bagaimana nanti kelanjutan hidupku
bersama manusia menyedihkan yang haus akan
kasih sayang ini, aku melirik kedua manusia yang
sudah kehilangan nyawanya di dalam ruangan
kecil tadi. Kedua manusia yang tak lain dan tak
bukan adalah orang tua Sasori-sama dan
tubuhnya telah diawetkan. Tak lama kemudian,
aku menghindari kedua mata mereka yang
seperti menatap kami berdua dari kejauhan.
Aku berusaha mengabaikannya...
...tatapan kedua orang tua yang seolah berharap
agar aku memberi kasih sayang pada anak
mereka.
Kasih sayang? Cinta?
Jangan membuatku tertawa.
.
.
.
.
.
Aku tahu...
Menjadi boneka itu memang menyedihkan.
.
.
.
.
.
Tapi ternyata...
Manusia yang meminta kasih sayang dari
boneka-boneka rendah ini—
.
.
.
.
.
.
—jauh lebih menyedihkan.
.
.
.
.
.
.
The End

0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | SharePoint Demo