SUMMARY:
Namikaze Naruto, pangeran yang terdampar
karena insiden keji yang menghancurkan
negaranya. Bersama dua jenderal dan adik
perempuannya, Naruto harus bertempur guna
merebut kembali kerajaannya,tahta mahkotanya,
juga hati gadis impiannya.
HAPPY READING!
V
V
V
.
.
.
Ibukota EGARTH- NERV, 1923
Langit itu berwarna merah.
Api di sudut-sudut kota menggempur oksigen,
menukarnya dengan gas karbon yang
mengiritasi tenggorokan. Taman kota yang
sejam lalu masih terlihat asri kini menghitam, tak
ada lagi keramaian penuh tawa yang biasa di
dengar di Egarth. Semuanya telah lenyap.
Sebuah dinding roboh kembali. Berderu keras
membentur bumi sebelum pecah menjadi
serpihan semen.
BAM!
Naruto menutup kelopak mata kanannya
seperempat, menghindari debu yang bertambah
frekuensinya setelah sekian menit mengadu nafas
dengan makhluk-makhluk aneh yang teramat
jalang ini dengan bersamaan jatuhnya tiang.
Tangannya menegang, lalu ditarik paksa.
Demon dengan tangan berbentuk pisau selebar
60 senti ini menggelepar tatkala Naruto menarik
tebasannya. Mata biru itu memicing tajam tanpa
ampun, menyaksikan debu hitam yang lenyap di
oksigen bersama percikan darah.
Naruto mengibaskan sekali sebelah FUERZAnya
yang berbentuk pedang, membersihkannya dari
darah sebelum memanggilnya masuk ke dalam
cincin bandul yang tersemat di jari tengahnya.
Secepati mungkin kemudian dia beranjak.
Naruto lari, dia mungkin sempat menghitung
baru saja membantai 139 Demon. Jalanan kota
sudah sepi dari suara, menyisakan puluhan
badan yang tergeletak di jalanan. Naruto
melompati tiang gedung yang roboh melintang,
lalu berjongkok di depan salah satu jasad
tergeletak.
"Hei! Bangun!" Ia menggoyang-goyangkan
sebelah bahu, lalu pindah ke bahu yang lain, "Kau
masih hidup, kan? HEI!"
Tak ada respon, Naruto panas.
"HEY, AYO BANG-!"
Kalimatnya lantas berhenti di tengah jalan. Dia
mendecih lalu meninju tanah.
BUAGH!
.
.
"SIAL!"
Dia mendecih murka lagi. Terhenyak sebuah ide
di kepalanya,
"HIKAZE!"
"Aku di sini!"
Naruto menggeser kepalanya sesenti ke kanan,
memandang penuh harap pada spirit penghuni
fuerza miliknya ini. Namun sang rubah dengan
kulit oranye keemasan itu menggelengkan
kepalanya sudah, matanya yang biasa dilihat
tajam berubah sendu.
Naruto tanpa bertanya pun sudah tahu tak ada
harapan lagi untuk jasad-jasad yang tengah
bergeletakan bak sampah. Pangeran Pirang ini
sudah terbiasa dengan kematian di depan mata,
darah membasahi wajah, hingga mendengar
gemertak tulang patah. Sudah biasa. Kematian
adalah simbol pergantian alur kehidupan, dalil
akan perputaran jenjang kehidupan, dan akhir
dari tahap kedua kehidupan manusia.
Dan kematian adalah cara paling mudah bagi
Kerajaan NERV untuk memberantas DEMON.
Ya, Demon. Makhluk-makhluk najis yang dengan
mudahnya menyembelih dan mencabik tubuh
manusia ini tak mampu sama sekali diajak untuk
birokrasi. Mereka membisu, berjalan berkedut-
kedut, meremukkan dinding bangunan, dan
seperti yang di awal, tak pernah kenal ampun
dengan nyawa manusia.
Dengan tujuan tidak jelas.
Maka NERV memberantas Demon dengan tujuan
ekslusif. Karena sekian kematian yang bahkan
menarik NERV untuk menginvasi negara-negara
tetangga. Kematian-kematian yang hanya
mampu ditindaklanjuti dengan pembantaian
Demon.
Namun kematian kali ini, kematian HARI ini,
terbangnya ratusan ribu nyawa hari ini adalah
kematian yang paling buruk pernah dirasakan
Naruto. Ia sudah menjauh hampir dua kilo dari
istana, menyisiri jalan, membantai demon
sampai sini.
Untuk mencari SESEORANG.
2 KILOMETER. Bukan jarak yang pendek apalagi
harus ditempuh dengan membantai sekian ratus
Demon.
Naruto berlari lagi. Beberapa puluh meter lagi.
Dan dia sampai.
Kedai yang berdinding bahan bambu itu sudah
hancur berantakan. Corak gosong hitam
terpampang jelas di papan dan meja yang
berserakan. Halamannya sudah menjadi
lapangan gersang beraroma debu dan pasir.
Naruto terpana spontan, kakinya lemas.
"M-Mustahil..."
Naruto berlutut, Ia tertunduk sayu dengan mata
berkaca-kaca. Tangannya menumpu badan,
sebelah tangannya mencengkeram tanah.
Dan sungguh dirasakannya, bulir air mata
pertama jatuh menetes.
"Sial... Siaal... SIALAN!"
Makian sempurna meluncur dari mulutnya.
Diangkatnya tanah yang tergenggam itu
beberapa senti sebelum menjatuhkannya
bersamaan dengan kepalan yang menghantam
tanah. Berkali-kali.
Dan air mata yang barusan hanya setetes itu
mendadak lancar beruntun. Menjadi titik-titik
yang muncul dari iris sewarna safir.
Darah muncul dari bagian pangkal tulang jari
tengah, Naruto menyadarinya. Dihentikan
aktivitas tangannya sebelum mendongak, melihat
pemandangan menyedihkan itu sedetik sebelum
kembali menghantamkan kepalan tangannya ke
tanah.
"BRENGSEK! BRENGSEK! SIAAL!"
Umpatan lagi. Ooh, Tuhan. Dia baru saja
bersumpah kalau dia baru saja menyesal,
BENAR-BENAR menyesal.
"SI-..."
Baru saja ingin mengumpat lagi, Naruto merasa
lidahnya tatkala itu bertulang. Pangeran pirang ini
kehilangan semua kekuatan lisannya.
"Yang Mulia Pangeran..."
Gumaman tak jelas di antara udara yang berbisik
memecut mental Naruto secara otomatis. Hanya
mampu berhipotesa, Naruto menajamkan kelima
inderanya baik-baik.
Lantas selincah kijang dia melompat ke arah
seonggok reruntuhan, mendapati potong-
potongan plafon ada tertumpuk di sana. Naruto
menarik nafasnya, mengumpulkan kekuatan lalu
menarik papan lapuk itu keluar.
Dan sosok gadis itu ada di sana, telungkup.
Dengan baju seragam pelayan sebagaimana dia
perintahkan, Sang Putra Mahkota berani bertaruh
dengan memotong sebelah tangannya kalau
sosok ini adalah manusia yang dia cari.
"SAKURA-CHAN!"
Dibaliknya tubuh yang lunglai itu kini
menghadapnya, dibopongnya dengan kedua
lengan. Safir berkilau itu menangkap objek yang
tengah tak sadar, lantas meredup.
Oh, Yang Maha Adil. Naruto menang taruhan.
Namun tatkala jarinya menyentuh nadi sang
gadis, segasi senyum tertarik di wajahnya.
Masih ada harapan.
"Kochira, Hikaze!"
"Hai!"
Spirit Rubah itu memindai tubuh sang gadis,
memberikan pancaran tenaga dalam. Naruto
mencabut kain penutup kepala sang gadis guna
mempermudahnya menghapus pasir dan abu
yang menempel di dahi lebarnya. Naruto
menggoyangkan bahu yang mungil itu,
"Sakura-Chan? Hei?"
Belum ada reaksi. Naruto melirik pada fuerzanya,
dibalas dengan anggukan mantap dari sang
spirit. Pancaran tenaga dalam itu masih kentara.
"Sakura-Chan? SAKURA-CHAN!"
Naruto menggoyangkan tubuh perempuan ini
lebih kuat.
"A-engh...O-OHOK! OHOK!"
Desahan nafas diikuti batuk dan suara serak
serasa melonggarkan dada Naruto yang sedari
tadi serasa sesak.
Dan kelonggaran itu kentara semakin lega tatkala
bulu mata lentik itu bergoyang perlahan, lamat-
lamat, lalu menarik diri. Memperlihatkan corak
sewarna hijiau lembut disana.
Dan tatkala iris emerald itu terpantul sempurna di
safir miliknya, Naruto mengulang nama itu lagi.
"Sakura-Chan?"
Dan pemilik wajah manis itu kian memalingkan
kepalanya, mendongak ke arah Naruto. Sang
Pangeran Pirang kian luas senyumnya, dan
pemilik sewarna hijau itu membelalak.
"Y-Yang Mulia Pangeran!"
Gadis itu spontan memberontak, berniat
melepaskan diri. Namun sepertinya cedera
badannya tak bisa diajak kompromi. Sakura
mengaduh nyeri, sekujur tubuhnya serasa sakit.
Naruto menangkap perihal itu. Terkubur tertimpa
plafon adalah sebuah pilihan yang termasuk
sangat buruk. Naruto membuka saku bajunya,
mengambil sebotol pil dari sana.
"Telan ini." Naruto mengeluarkan sebotol air yang
tinggal hitungan teguk dari saku yang sama,
mengairi kerongkongan Sakura dengan sebegitu
pelan.
"Daijoka? Sakura-Chan?"
Namun jawaban yang datang selanjutnya tak
seperti yang dia bayangkan, "B-Biarkan saya
berdiri, Naruto-Sama. Saya-"
"Diam."
Dan Sakura baru saja memotong kalimat gagap
sang gadis," Masih mau melawan titah
Pangeran?"
"Ini Perintah."
Dan perempuan muda itu diam, sedetik. Lalu
memberanikan lagi membuka mulutnya.
"B-Baik, N-Naruto-Sama." Naruto memutar
matanya,
"Itu lebih baik." Naruto melonggarkan rangkulan
tangannya. "Sudah baikan?"
Dan gadis itu mengangguk. Naruto
mengendurkan otot dahinya, "Baguslah.
Sekarang ikut ak-"
"APA YANG TENGAH DILAKUKAN SEORANG
PANGERAN DI SINI BERSAMA SEORANG RAKYAT
JELATA?"
Suara dingin itu terdengar jelas, membuat Naruto
luar biasa bergidik hingga tak mampu
melanjutkan kalimatnya.. Hanya dengan melihat
raut pucat Sakura Naruto dapat memastikan
siapa yang datang.
IBLIS yang telah menyebabkan semua ini terjadi.
Iblis yang telah dengan seenaknya membuka
portal, membiarkan ribuan demon bangkit dan
mengobrak-abrik NERV, menyerang ayahnya,
mengintimidasi adiknya, menculik ibunya...
...Dan memisahkannya dengan Sakura.
Naruto mengelus pipi calon istrinya, memastikan
kalau mereka akan baik-baik saja. Sakura
mengangguk, gadis itu mencoba menapakkan
kaki di tanah.
"Kaukah, OROCHIMARU?"
Naruto berdiri lalu berbalik badan sepenuhnya,
iris safirnya berkilat-kilat. Sosok dengan wujud
mata ular itu menjilati bibirnya.
"HA? PERTANYAAN YANG MUBADZIR. SEORANG
CALON PENERUS TAHTA MESTINYA TAHU
MANA YANG WAJIB DIUCAPKAN ATAU TIDAK,
BUKANKAH BEGITU? YANG MULIA PANGERAN?"
Kilatan safir itu berubah murka,
"DIMANA Ibuku?"
"OH, YANG INI LEBIH MUBADZIR LAGI." Nadanya
terdengar amat sombong. Kedua tangannya
terangkat bak sedang berorasi. "BAGINDA
PERMAISURI TENGAH MENIKMATI SEBUAH
AWAL DARI LIBURAN PANJANG, DAN DIA
MENGAJAKMU IKUT BERSAMAN-"
"EIEN... Hikaze!"
Pedang bermata dua itu muncul, tergenggam di
tangan kanan bersamaan dengan peluncur metal
yang membungkus lengan kirinya. Aura tenaga
dalam berwarna oranye terang itu terpancar
keluar dari tubuh Naruto. Orochimaru
mengangkat sebelah alisnya.
"PFF! SATU LAGI, TERNYATA PUTRA MAHKOTA
NERV JUGA TAK TAHU SOPAN SANTUN."
Naruto memasang kuda-kuda, diacungkannya
pedang selaras lengan. "Akan kupaksa kau, untuk
bicara, OROCHIMARU!"
Yang dipanggil namanya menyeringai, Naruto
merasakan giginya bergelemetuk. Sakura masih
berdiri mematung, tak tahu apa yang harus
dilakukannya.
"Lari."
Ha?
Telinga Naruto menangkap ketidakpahaman
Sakura, tanpa menoleh dia berkata,
"Lari, Sakura-Chan. Aku akan menyusulmu
nanti."
"Tapi... N-Naruto-Sama..Kita baru..."
"-Aku janji, sayang."
Sakura terdiam. Naruto mengeser kepalanya
sekian senti ke kanan. Memperlihatkan sudut
matanya yang melembut dengan segaris
senyuman.
Sakura mengangguk. Dia mulai melangkah
mundur,
"Tunggu aku di-"
"...-NERAKA..."
Dan jantung Naruto bak berhenti berdetak saat itu
juga, menyadari musuhnya tak lagi di depan
mata. Naruto melacak asal suara, dan tepat saat
dia menyadari dimana angin meniupkan bunyi
dari mulut musuhnya, Naruto memutar
badannya ke kanan, dia berteriak,
"PENGECUT! KAU MAU AP-!"
.
.
.
TRAAANGG!
Sebuah desingan terdengar menyayat angin.
Naruto hanya bisa terpana tatkala fuerzanya
pecah menjadi serpihan tenaga dalam, merasuk
kembali pada cincin yang tersemat di jari
tengahnya. Iris safir itu memantulkan wajah
Sakura yang menangis menjerit, hanya berjarak
2 langkah di depannya tepat saat Orochimaru
menyeringai.
Kesimpulan mudah, Sakura tak sempat melarikan
diri.
Selanjutnya, selain bulu roma yang berdiri,
Naruto hanya bisa merasakan sebilah logam
menebas dadanya.
Dan HITAM pun datang setelah MERAH.
Naruto tak sadarkan diri.
Sakura...
Sakura...
Sakura...
1st Chapter:
"The Beginning"
Setahun kemudian, Tokyo- April 2012
"Onii-Chan?"
Naruto tertarik dari alam khayalnya. Mata birunya
sesaat membulat kejang, lalu kentara meredup.
Naruto berbalik setengah badan, menatap
adiknya yang menjulurkan leher ke dalam kamar.
"Sudah kubilang ketuk pintu dulu kalau ingin
masuk kamar, kan? Ino?"
Sang adik mengerucut bibirnya, "Ih! Kan sudah
kupanggil dari tadi? Kakak sedang apa sih?
Bajunya saja belum ganti!"
Naruto mengacak rambut pirangnya, "Iya-iya,
setelah ini ganti." Jawabnya malas. "kalian tunggu
aku di bawah, llima menit lagi aku turun."
"Ok!" Ino mengedipkan sebelah matanya. Lalu
pergi meninggalkan Naruto.
Naruto memastikan suara klek terdengar
sempurna, diikuti langkah jenjang yang berderap
menuruni tangga. Dia mendengus, lalu kembali
menyempurnakan posisi badannya. Kedua
tangannya tertumpu di meja, mendengus lagi
sebelum mendongak sekian senti. Melihat
wajahnya sendiri di cermin. Lalu menunduk.
Di atas meja yang sedang ditatapnya ini ada
sebuah kotak kayu. Berukuran hanya seperempat
telapak tangan dengan pahatan bersuasana
mistis. Kepala Naga di ambang bibir kotaknya
bertautan dengan 4 delima mungil kebiruan,
menyatu dengan ukiran penuh kenangan di
seluruh sisi kotak.
NERV.
Naruto menimbang-nimbang, nama penuh
kenangan itu itu terlintas sambill memikirkan
bolak-balik apa yang akan menjadi efek
selanjutnya setelah ia sukses mengeksekusi si
kotak. Ayolah, kedua tangannya sudah berada
tepat di kedua sisi, apa sulitnya hanya 'membuka'
saja?
Ya, membukanya tidak akan sulit.
Satu sisi hatinya menginstruksikan.
Namun apa kau MASIH mampu?
Kali ini sebelah sisi lain menyanggah.
Dan bagaimanapun ada sudut-sudut di mana dia
merasakan sebuah kesadaran, Naruto pun tahu
bahwa keputusan tetap berada di tangannya.
Positif atau negatif apapun pekerjaannya,
konsekuensi harus dijalankan.
Dan Naruto menghembuskan nafasnya. Ia sudah
usai mandi lebih dari setengah jam yang lalu, dan
berdiri lama-lama di depan sebuah meja sambil
berfikir bukanlah tipenya.
"Aaah... Sekarang sudah musim semi ya?"
Naruto bergumam sendiri. Tangannya ditarik dari
meja, matanya menatap birunya langit dari
jendela. Ya, minggu ini sudah mulai masuk
musim semi. Musim di mana kehangatan udara
dan damainya langit bersatu. Membangkitkan
semangat hidup yang lama terpendam. Naruto
percaya benar itu. Musim semi bisa menghapus
gundah, menidurkan lara, menghapus kesedihan
dari tiga perempat kuartal hidup tahunan
manusia
Musim semi itu ajaib.
Musim semi punya sekian juta rim simpanan
arsip yang mendokumentasikan milyaran
kejadian bahagia manusia yang terjadi.
Musim semi adalah musim kebahagiaan abadi.
Ya, kau harus sedikit tersenyum hari ini, Naruto.
Naruto tersenyum manis, dia beranjak dari meja,
mengganti kaos hitam itu dengan kaos motif dan
training capoeira standar. Naruto menata sedikit
pirang jabriknya di cermin dengan wax,
mengambil jaket di gantungan lalu kembali pada
si kotak.
"Dan aku akan memberikan sedikit senyumku itu
padamu, Hikaze."
Dia meraih kotak, memasukkannya ke saku
bagian dalam jaket. Naruto berjalan
meninggalkan meja, membuka pintu lalu
menutupnya rapat.
Naruto menyusul adiknya yang dilihatnya baru
saja menatap jam tangan. Ino dan Shikamaru
tengah berdiri tepat di depan pintu mobil.
"Hh, 5 menit lebih 38 detik!" Ino berseru seraya
mencubit lengan Naruto. Sang kakak hanya
mengaduh pelan, berpura-pura kesakitan.
"Ehehehe... Gomen-gomen!" Naruto berkilah,
"Ah, tapi kakak malah jadi seperti Shikamaru!"
Kejar Ino. "Padahal ini kan hari dimana kita ingin
bersantai penuh." Gadis itu mengeluarkan
permen lollypop dari dalam tasnya, lalu berpaling
pada pemuda kuncir, "Benar kan, Shika?"
Yang dijadikan perumpamaan mengerucutkan
bibirnya, pura-pura cemberut.
"He, m-maksud Tuan Putri itu apa...?"
Ino dan Naruto lantas tertawa, iris birunya
terbuka mengintip. Membiarkan Shikamaru yang
kesal sendiri sebelum menyadari akan sesuatu
yang kurang .
"Aaah... sekarang tinggal Si Teme..." Naruto
mengetuk-ngetukkan jarinya di depan dagu. "Ah,
itu dia!"
"Sasuke-Kun...!"
Pemuda raven berambut hitam itu menuruni
tangga apartemen. Dia sunyi terdiam, lantas
tersenyum seraya mengangkat sebelah alisnya.
Sebelah tangannya keluar dari saku celana, lantas
melemparkan kunci pada Naruto sebelum
merapikan tas gitar yang dibopong oleh sebelah
bahun. Naruto menyambut dengan cengiran.
Sebentar kemudian, mobil sport sewarna langit
malam itu melaju meninggalkan halaman parkir.
Naruto berhenti di mulut gang, memeriksa
adanya pengguna jalan yang lain sebelum
memutar stir perlahan ke kiri, lantas berpacu di
jalan.
Naruto memindahkan paradigmanya ke jalanan.
Di sampingnya Ino mulai sibuk dengan Ipodnya,
mencolokkan headset lalu memasangkannya di
telinga. Sasuke menekan-nekan sekian tombol di
ponsel, lalu menghubungi seseorang. Shikamaru
bahkan sudah mulai menguap, terkantuk-kantuk.
Upss, well.. Sepertinya Naruto harus menikmati
jalanan sendiri.
Sang Pangeran menyentuhkan ujung telunjuk
kirinya sesaat pada tonjolan di saku jaketnya,
memastikan kalau kotak itu masih ada di sana.
Kau saja yang temani aku ya, Hikaze?
Naruto mulai mengkhayal, lalu terkekeh garing
sembari mengembalikan kedua tangannya pada
sisi stir mobil. Naruto memutar perseneling, dan
mobil pun melaju.
-TBC-
0 komentar:
Posting Komentar