Total Tayangan Halaman

26/06/12

The God of The Death

Chapter 1
First Job on The 13th Day
"Kau akan harus membereskan korban sebanyak
13 orang dalam tugasmu ini. Kau harus
menyelesaikannya sebelum hari ke-100-mu.
Ingat, dalam pekerjaan ini, "belas kasihan" tidak
dibutuhkan. Kau harus mengakhiri nyawa orang
yang akan kau hilangkan dan itu sudah tugasmu
sebagai malaikat pencabut nyawa. Dan kau akan
memulai tugasmu pada hari ke-13. Usahakan
agar orang terdekatmu—khususnya teman
sekolah—agar tidak tahu tentanng identitas
aslimu"
Hal itulah yang selalu terngiang di pikiran cowok
yang saat ini sedang berada diatas tingkat
tertinggi sebuah gedung pencakar langit. Mata
kelamnya menerawang jauh pada sebuah
gedung kosong yang saat ini tampak
mengeluarkan suara rintihan orang yang sedang
tersiksa. "Sudah mendekati ajal, huh?" ucapnya
seraya menatap jam tangannya yang
menunjukkan tepat jam 12 malam, "Sepertinya,
aku harus menodai tanganku untuk yang
pertama kalinya malam ini," seraya terbang
menuju gedung yang daritadi diamatinya. Sayap
hitamnya tak kalah kelam oleh langit malam ini.
Mengepak, menimbulkan suara bak seribu
serdadu burung sedang berimigrasi. Namun, hal
itu terdengar seperti nyanyian indah bagi para
manusia yang sedang tertidur lelap malam ini.
Saat ini dia sudah berada diatas gedung kotor
tersebut sambil melihat kebawah—penyiksaan
terhadap seorang gadis yang sedang berteriak,
merintih dan menangis. Mata kelam itu hanya
menatap hal itu dengan pandangan flegmanya.
Tak ada ekspresi apapun yang ditampilkannya
saat ini. Seakan hal tersebut sudah menjadi
pandangannya setiap hari, jam, menit bahkan
detik.
Hal yang tampak adalah dua orang remaja laki-
laki yang sedang menyiksa seorang cewek
menggunakan besi panas yang membara. Salah
satu dari remaja itu bergerak perlahan mendekati
gadis yang sedang berteriak histeris, sambil
memegang besi panas tersebut dan
menempelkannya diantara selangkangan gadis
tersebut. Hanya teriakan gadis itu yang dapat
terdengar. "Hm, sepertinya kau gadis yang
cukup berisik, yah? Bukankah biasanya kau suka
memamerkan bagian kewanitaanmu terhadap
pria-pria yang membayarmu hah?" ucap pria itu
sambil berjongkok dihadapan sang gadis
tersebut. Tampak darah segar mengucur dari
bagian kewanitaan gadis tersebut. "Tidak. Kau
salah paham Hidan, a-aku tidak pernah b-be-
berniat melakukan hal iitu. Kau salah paham, k-ku
mohon percayalah." Elaknya terhadap pria yang
bernama Hidan tersebut. "Hoo, kau masi saja
mengelak meskipun aku mempunyai buktinya
heh? Kisame! Bisa kau panaskan besi ini untukku
lagi!" katanya seraya memberikan besi itu
terhadap rekannya yang menganggukkan
kepalanya. "Kau tidak tahu betapa aku
mencintaimu dengan sepenuh hati, Konan!" pria
itu mendekat ke arah Konan—gadis itu—seraya
menerima kembali besi yang baru dipanaskan
oleh Kisame tadi.
'JLEB'
Besi tersebut ditusukkan kepada kewanitaan gadis
tersebut. "Aaaaaaarrgh" gadis itu berteriak
sekeras-kerasnya. Dan 'JLEB' stelah diacabut besi
itu ditusukkan kembali ke kerongkongan gadis
tersebut, berkali-kali sampai tembus dan ehernya
Nampak akan putus. Darah segar mengalir dan
bercipratan kemana-mana. Gedung yang koto itu
kini tampak kotor dengan darah yang berlimpah
dan bau anyir yang menyeruak bak aroma
busuk di lautan darah. "HAHAHAHAHA, kau lihat
itu. Dia tidak akan bisa merayu pria-pria itu lagi
degan suaranya dan yang terpenting, aku sudah
menghancurkan tempat pria-pria itu
menanamkan benihnya. Kau lihat Kisame, aku
membunuhnya. Aku membunuhnya!
HAHAHAHA. Aku puas. Aku puaaaaasss!" pria
tersebut tertawa histeris sambil memandang—
mantan—kekasihnya yang tergeletak
bergelimang darah segar. "Ayo, kita harus pergi
dari sini psikopat. Kau tidak mau katahuan
membunuh orang dan dikutuk oleh dewa
Jashinmu itukan?" ajak Kisame seraya menyeret
temannya tersebut, agar keluar dari gedung
busuk tersebut. "Bye, my darling. Aku
mencintaimu. Tidak! Aku mencintai darah dan
teriakan pilumu, HAHAHAHA."
Begitulah, kedua pria tersebut pergi begitu saja,
meninggalkan tubuh gadis tersebut yang sudah
terbungkus warna pekatnya darah. Tidak ada
rasa bersalah sama sekali. Sementara mereka
pergi meninggalkan gedung tersebut, diatas sana
ada seorang bocah berumur 15 tahun yang
hanya menatap datar terhadap tubuh gadis
tersebut. Perlahan matanya terpejam,
menyembunyikan bola mata berwarna
kelamnya. Saat dia membukanya, dia sudah
berada di depan tubuh gadis tersebut. "Ck, kotor
sekali pekerjaan mereka. Kriminal heh? Gadis
yang malang." Kemudian dia meletakkan tangn
kirinya ke kepala gadis tersebut. Perlahan-lahan
cahaya biru muncul dari tangannya dan sedetik
kemudian cahaya biru itu memadat dan
membentuk sebuah buku kecil berwarna merah
pekat. "Dilihat dari warna bukunya, gadis ini
mempunyai catatan kehidupan yang buruk." Dia
membuka buku itu perlahan, "Ternyata benar.
Hanya seorang penggoda huh? Pantas saja
pacarnya marah." Kemudian dia melempar buku
itu keatas dan dalam sekejap, buku itu hangus
terbakar api hitam yang dia dikeluarkan hanya
dengan menjentikkan tangannya. "Pembunuhan
yang tidak buruk untuk pekerjaan pertamaku.
Aku harap pembunuhan berikutnya akan lebih
menarik dari ini." Dan dia berjalan keluar dari
gudang tersebut dan dalam hitungan detik dia
sudah menghilang dari tempat tersebut.
-Rubrum&Niebieski-
Pagi yang cerah , terlihat dari sinar-sinar metahari
yang suci menyinari hampir seriap sudut bumi.
Sinar yang sangat tajam sehingga dapat
menembus jendela kamar seorang pemuda
yang saat ini sedang menggeliat tak nyaman
karena terpaan sinar matahari tersebut. Naruto
Uzumaki, pemuda berambut kuning jabrik itu
mengerjab-kerjabkan matanya beberapa kali.
Akhirnya matanya terbuka lebar, menampilkan
iris seindah langit tak berawan. Perlahan dia
bangun dan duduk di pinggir ranjang ukuran
king size miliknya. Kemudian dia meraih jam kecil
yang ada di atas meja di sebelah
ranjangnya."Hmmm" dia bergumam melihat
jam tersebut.
Tik….
Tik….
Tik….
"Ehhhhh? Sudah jam seginiiii? Ya ampun aku
harus begegas kalau tidak mau terlambat." Dia
langsung berlari menuju kamar mandi yang tidak
jauh dari tempat tidurnya. Mencuci mukanya dan
menggosok giginya kemudian berpakaian yang
—menurutnya sudah sangat—rapi. Karena
nyatanya baju kemeja putih yang digunakannya
tidak dimasukkan, dua kancing teratas dibiarkan
terbuka dan dasinya hanya di letakkan di lehernya
begitu saja. Dia berlari keluar apartemennya dan
melihat mobilnya di garasi. "Kalau aku
menggunakan mobil, bisa-bisa aku terjebak
macet. Sebaiknya aku berlari saja. Lagipula jarak
dari sini ke sekolah tidak terlalu jauh." Akhirnya
dia memutuskan untuk berlari setelah bergumam
sendiri kepada dirinya.
Setelah beberapa saat akhirnya dia sampai di
depan gerbang sekolahnya. Dia melihat gerbang
yang tertulis Konoha High School sudah tertutup
sebelah, dan bergegas memasuki wilayah
sekolahnyal. Baru saja dia membuka loker—
dengan terburu-buru dan keringat yang cukup
banyak terlihat di tubuh tannya—sedetik
kemudian terdengar bunyi bel tanda pelajaran
akan segera dimulai. Akhirnya dengan sisa
tenaga yang di punya, dia berlari menuju
kelasnya yang berada di lantai 3. Saat pintu
kelasnya sudah terbuka, di bergegas mebukanya
sraya berucap, "Sensei, maafkan saya karena
telat." Dia membungkukkan badannya dan
menghadap meja guru. Seketika kelasnya
menjadi hening. Selang beberapa detik, gelak
tawa terdengar riuh di kelas tersebut. Dia
bingung, apa yang membuat temannya tertawa.
Dia menegakkan tubuhnya perlahan dan melihat
ke tubuhnya sendiri dan dia merasa tidak ada
yeng aneh dengan pakaiannya. Dia menatap
meja guru dan, "Apaaa? Gurunya mana? Terus?
Tadi aku hormat dan minta maaf pada siapa?" dia
terdiam, dan memperhatikan temannya yang
masih tertawa. Sial! Rutuknya pada dirinya
sendiri.
"Woi, Naru kau masi hidup tidak?" Tanya
temannya yang memiliki tato segitiga terbali di
kedua pipinya, Kiba Inuzuka. "Hehehe, aku tidak
sadar kalau ternyata Kakashi-sensei belum
datang." Naruto kemudian menghampiri Kiba
yang sedang duduk diatas mejanya di pojo
belakang, tepat di sebelah jendela. Sementara itu,
ada seorang murid yang menatap Naruto
dengan mata hitamnya dengan seksama.
Tiba-tiba Hinata datang seraya berkata, "Na-
naruto-kun, ini ada ti-titipan dari Gaara-senpai,"
ucapnya seraya memberikan sebuah kotak
bento. Naruto hanya membalasnya dengan
cengiran seraya berkata, "Thanks Hinata-chan."
Gaara memang selalu memberikan bekal kepada
Naruto setiap harinya. Hal tersebut dilakukan
Gaara agar dia tidak terlalu sering memakan
makanan yang kurang—menurut Gaara—sehat.
'BRAK' terdengar bunyi pintu kelas Naruto
terbuka. Kemudian muncullah Kakashi-sensei
sambil membawa buku kecil berwarna orange
yang selalu dibawanya kemana-mana. Guru
yang memiliki rambut berwarna perak mencuat
keatas dan masker yang hampir manutupi
seluruh wajahnya berjalan perlahan menuju
kursinya, "Selamat pagi anak-anak. Maaf bapak
telat. Tadi bapak menemani seorang nenek
nyebrang di tengah jalan," ucapnya sambil
tersenyum. "Ketahuan banget bohongya.
Seharusnya kan nyebrangin itu nenek dari
pinggir jalan, bukanya di tengah jalan. Keburu
ketabrak nanti neneknya." Gerutu seorang murid
dibarisan belakang. Sementara anak-anak yang
lainnya Cuma cengengesan mendengar
komentar seorang cowok blonde yang tidak lain
dan tidak bukan, Naruto.
"Ck, mendoukusai!" sambung cowok yang
rambutnya diikat keatas seperti nanas, Shikamaru
nara. "Hei, Shika kau kenapa tidur terus sih?"
timpal Neji Hyuuga—cowok yang memiliki
rambut coklat panjang dan mata berwarna
lavender—yang duduk di sebelahnya. Yang
ditanya henya menenggelamkan kepalanya
kedalam lipatan tangannya diatas meja. "Hahaha,
Neji, kau tidak perlu menanyakannya lagi.
Bukankah dia memang selalu tidur damana dan
kapanpun dia berada," Neji hanya
menanggapinya dengan senyum.
Naruto yang mendengarnya hanya ketawa—
nyaring—sambil menggebrak-gebrak meja. Tiba-
tiba… 'CTAK' sebuah kapur melayang ke kepala
Naruto. "Adududuh, sakit. Siapa yang berani-
berani ngelampar aku?" tanyanya—entah pada
siapa. "Duduk yang benar atau kapur kedua akan
melayang kembali Na-ru-to," ucap Kakashi-sensei
yang merupakan tersangka dari si pelempar
kapur. Naruto hanya memegangi dahinya yang
merah seraya kembali duduk.
"Ck, dobe" ucap cowok yang baru saja
mengambil peran dalam percakapan di kelasnya.
Cowok dengan bola mata berwarna kelam, kulit
putih bak porselen, dan rambut raven yang
mencuat sperti pantat bebek, Sasuke Uchiha.
"Apa kau bilang teme? Kau ngajak berkelahi ya?
Ayo si-auchh! Hei, siapa yang berani-bera—"
ucapannya terpotong dengan lemparan kapur
Kakashi-sensei yamg kedua dalam waktu pagi ini.
"Diam atau keluar 'NARUTO'," ucap Kakashi-
sensei memberikan penekanan pada namanya.
Akhirnya dengan terpaksa Naruto duduk kembali,
tentu saja setelah member Sasuke pandagan
tajam terlebih dahulu. Sementara Ino Yamanaka
dan Sakura Haruno—yang merupakan teman
satu kelas Naruto—hanya cekikikan melihat
tingkah teman-temannya tersebut.
"Baiklah, kita akan memulai pelajaran. Silahkan
buka buku matematika kalian halaman 125.
Tolong perhatikan rumus-rumus yang kemarin
telah bapak jelaskan. Kemudian kerjakan soal-soal
yang ada di halaman tersebut." Lalu anak-anak
segera mengeluarkan buku mereka dan mulai
mengerjakannya—kecuali Shikamaru yang
daritadi masih tertidur pulas.
-Rubrum&Niebieski-
Akhirnya bel istirahat berbunyi—menandakan
bahwa jam pelajaran telah usai. Para murid KHS
berhamburan keluar kelas, ada yang menuju
kantin untuk sekedar mengisi perut, pergi
ketaman sekolah ataupun ke perpustakaan.
"Naru, ayo ke kantin. Aku lapar nih," ajak Kiba.
"ehm, maaf Kiba. Aku ada keperluan sebentar.
Kau pergi saja duluan dengan Shika dan Neji."
Ucapnya sambil memberikan cengiran khas-nya.
"Oh, yasudalah. Ayo Shika, Neji," ajaknya pada
dua orang temannya yang dari tadi berdiri
disebelahnya. Kemudian Naruto juga segera
pergi dari tempat tersebut.
Di atap sekolah.
Tampak seorang pemuda barambut raven
sedang terbaring pulas dengan tangan kanan
diletakkan di kedua matanya untuk melindungi
matanya dari sinar matahari, dan tangan
sebelahnya diletakkan diatas perutnya. Ya, dia
adalah Sasuke Uchiha.
'CKLEK'
Pintu menuju ke atap sekolah terbuka. Tampak
seorang cowok berambut pirang jabrik dan
bermata biru saphire, Naruto. Dia berjalan
perlahan mendekati sosok yang sedang tertidur
tersebut, lalu duduk disebelahnya. "Mau apa kau
kesini , Dobe?" Tanya Sasuke tanpa melihat lawan
bicaranya. "Bagaimana kau bisa tahu kalau ini
aku, Teme?" yang ditanya hanya mendengus
dan kembali menikmati tidurnya. Memang sudah
rutinitas Sasuke tidur di atas atap sekolah ini.
Sedangkan Naruto, dia memang menyukai
tempat ini. Karena menurutnya sejuk dan tenang.
Naruto bukannya membenci keramaian, dia
hanya merasa perlu menenangkan diri di tempat
ini setiap istirahat sekolah. "Hmm, aku hanya
menenangkan diri. Tempat ini … sangat
menenangkan menurutku." Kemudian Naruto
beranjak menuju pagar pengaman yang ada di
atap sekolah tersebut. Merasakan sejuknya angin
yang membelai lembut rambut pirangnya.
"Teme … apakah kau percaya tentang malaikat
dengan hati iblis?" yang ditanya hanya
mengangkat sebelah alisnya sembari
memandangnya dengan flegma-nya. "Aku
hanya bingung dengan buku yang kubaca ini—"
ucapnya seraya memperlihatkan buku yang
sedari tadi dibawanya, "—buku ini menceritakan
tentang malaikat yang berhati iblis. Malaikat itu
memiliki mata kelam yang tajam dan tidak punya
hati nurani sama sekali. Bukankah malaikat itu
orang yang baik, Teme?" Sasuke menatapnya
sejenak kemudian berkata, "Ck. Dasar! Kau
memang idiot Dobe." Naruto mendelik kesal
mendengar jawaban Sasuke tadi. Dia
menggembungkan pipinya dan memalingkan
wajahnya, "Kau mirip seperti malaikat ini, Teme!
Membuatku kesal setiap hari." Sasuke hanya
ber'hn'ria. "Aku mau kembali ke kelas." Ucap
Naruto seraya beranjak dari tempanya bertopang
tangan tadi. "Mungkin … malaikat seperti itu
memang ada, Dobe. Mungkin kau bisa
menemukannya." Ucap Sasuke yag langsung
membuat Naruto bergidik ngeri melihat
seringaian yang bertengger di bibir tipis sasuke.
"K-kau! Dasar baka Teme! K-kau piker aku takut!"
bentaknya sambil menutup pintu menuju atap
tersebut dengan kesar, sehingga menyebabkan
debaman yang cukup keras.
Sasuke mendengus, "Mungkin kau akan segera
melihatnya, Naruto." Ucapnya sembari menatap
hamparan lukisan biru alam yang berada di atas
langit dengan goresan putih awan yang
membentuk seperti kapas tak ternoda. "Baru 14
hari aku mengenalmu. Kau sudah membuatku
tertarik, Dobe," kemudian dia beranjak dari
tidurnya, menuju kelas.
-Rubrum&Niebieski-
Saat ini Naruto sedang berada di depan gerbang
sekolah. Matanya menarawang jauh
memperhatikan murid-murid sekolah yang
perlahan pergi satu per satu. Perkataan sasuke di
atap tadi, membuatnya bergidik. Segera mungkin
dia melangkahkan kakinya menuju
apartemennya.
"Dob—"
"Gyaaaaa," Naruto berteriak histeris ketika
merasakan tepukan halus di pundaknya yang
membuatnya—sangat—terkejut.
"Ck, ini aku Dobe." Kemudian Naruto menoleh
kebelakang dan mendapati Sasuke sedang
tersenyum mengejek ke arahnya. "Ah, kau
menyebalkan, Teme! Bisa tidak kau tidak
mengejutkanku seperti tadi—dan hilangkan
senyuman jelekmu itu dari wajahmu." Naruto
mengucapkan kalimat ini dengan kesal.
Sementara Sasuke hanya memutar kedua bola
matanya bosan.
"Sedang apa kau, Dobe? Kau tidak takut berada di
sekolah pada jam segini?" ucapnya menampilkan
seringaian di bibir tipisnya. Oh, betapa sukanya
dia mengerjai pemuda berwajah manis di
hadapannya ini. "A-apa maksud perkataanmu
tadi, Teme? Jangan selalu mengejekku! Aku tidak
takut dengan ucapanmu. K-kau dengar itu,
Teme!" ucapnya berusaha menyamarkan rasa
takunya. Perlahan bulir-bulir keringat turun di
pelipis kanannya.
"Hn. Ayo pulang," ajak Sasuke sembari berjalan
mendahului Naruto yang mendecak kesal. "Kau
mau pulang atau mau menginap di seko—"
"Stop! Oke-oke kita pulang dan Kau—tunjuknya
pada Sasuke—berhenti mnakut-nakutiku , Teme!"
Naruto berlari kecil mendekati Sasuke sembari
mensejajarkan langkah mereka. "Ck, idiot,"
Naruto hanya diam, tidak berniat membalas
peekataan Sasuke karena dia ingin sekali cepat
sampai di apartemennya. Sunyi senyap tak ada
satupun diantara mereka berdua yang ingin
memecahkan keheningan ini. Sesampainya di
pertigaan jalan mereka berpisah. Ya, apartemen
mereka memang berdekatan, hanya saja
tempatnya berbeda.
Apakah kau tahu … bahwa malaikat yang kita—
aku dan kau—maksud berada sangat dekat
dengan kita.
Tapi … tahukah kamu malaikat itu tak sebaik yang
ada kau pikirkan….
Seandainya kau tahu, apakah kau masih mau
mengenalku ….
Sepertinya tidak.
Kau mungkin terlalu takut …
… takut dengan kenyataan.
-Rubrum&Niebieski-
Naruto POV's
Ah, lelah sekali hari ini. Tulangku seperti remuk
semua. Lebih baik aku mendi dulu baru
setelahnya makan dan tidur. Aku sedng tidak
ingin melakukan apa-apa malam ini. Dan
sepertinya matahari juga sama sepertiku, sedang
lelah. Lihat saja, dia sudah mulai beranjak
meninggalkan singgasananya. Menyisakan
pancaran jingga kemerahan dengan temabur
cahaya redup yang cukup menyilaukan sekaligus
menghangakan jiwa. Tenang sekali melihat
warna yng membuatku sangat merindukan
sosoknya. Ah, sudahlah—aku harus bergegas
merilekskan tubuhku.
Aku beranjak menuju kamar mandi yang berada
tidak jauh dari tempat tidur berukuran king size
milikku. Mengampi handuk yang ada di atas
tempat tidurku, menyampirkannya dibahuku.
Perlahan aku masuk ke kamar mandiku. Aku
melucuti pakaianku sampai tubuhku tak tertutup
sehelai kainpun. Perlahan kunyalakan shower
yang ada di kamar mandiku dan merasakan
kesejukan yang perlahan mengaliri tubuhku.
Mebentuk jalur-jalur air di seluruh tubuhku.
Kurasakan tubuhku perlahan merileks dengan
sendirinya. Setelah kurasa cukup, akupun
menyudahi kegiatannku dan keluar dari kamar
mandi ini.
Setelah selesai memakai piyamaku aku segera
menuju ke dapur untuk membuat makan malam
sederhana untukku. Ya, tinggal sendiri di
apartemen yang terlalu mewah ini—untuk satu
orang—cukup sepi juga. Setelah selesai dengan
kegiatan makan malamku, akupun membereskan
piring=piringnya dan segera mencucinya. Kurasa
tubuhku sudah tak sanggup lagi untuk bertahan
bahkan hanya untuk menonton televise—yang
tak membutuhkan tenaga sedikitpun—di ruang
tengah apartemenku ini. Ya, aku terlalu ngantuk
dan lelah. Akhirnya aku beranjak ke kamarku—
mebiarkan pintu kamarku terbuka—dan
melatakkan tubuhku di atas kasur. Akupun
segera memejamkan mataku dan tetidur lelap.
.
.
.
Naruto POV's end
Sementara itu, di sebuah apartemen lain,
tepatnya apartemen milik Sasuke. Tampak
seorang pemuda dengan mata onix dan rambut
raven yang sedang terduduk di atas sofa
berwarna biru tua sambil memegang segalas jus
tomat yang baru saja diambilnya dari kulkas.
Tubuh yang berbalut seragam sekolah itu
tampak terlihat lelah. Tampaknya, dia baru saja
sampai ke apartemennya setelah seharian penuh
menuntut ilmu di KHS. Kemudian dia beranjak
menuju kamarnya dan segera mandi. Sasuke
juga merupakan seorang pelajar yang tinggal
sendiri—sama seperti Naruto—di sebuah
apartemen yang cukup mewah bernuansa putih.
Setelah selesai mandi, tangan putihnya terjulur
untuk mengambil sebuah handuk yang terletak di
samping pintu kamar mandi. Kemudian dia
melingkarkan handuk tersebut ke pinggangnya.
Tak sengaja dia melihat dia melihat keluar jendela
yang berada di kamarnya yang bernuansa biru
tua tersebut. Melihat warna kuning, jingga dan
merah berpadu satu dalam genggaman sang
langit, tampak sangat hangat. Mengingatkannya
kepada seseorang yang baru-baru ini
membuatnya merasakan hngat yang menjalar
ketika bersama orang tersebut. Rasa-rasanya
baru kali ini dia berteman dengan orang yang
begitu unik dan hangat. Seulas senyum tipis
terlukis di wajahnya.
Saat menikmati kehangatan pandangan langit
penuh warna tersebut, tiba-tibanya perutnya
berbunyi minta diisi. Dia merutuki perutnya yang
mengganggu kesenanganya. Akhirnya dia
mamutuskan untuk beranjak ke dapur dan
mengambil beberapa tomat untuk mengisi
perutnya. Bukan hanya itu, dia juga
menambahkan semangkuk sup tomat sebagai
makanan utamanya. Setelah selesai makan dia
membereskan semuanya. Setelah itu dia
beranjak ke ruang tengah untuk nonton TV.
Namun sepertinya tidak ada yang menarik.
Akhirnya dia memutuskan untuk pergi ke ruang
baca pribadi miliknya. Dia mengambil sebuah
buku sembari mendudukkkan dirinya di sebuah
sofe berukuran untuk satu orang. Perlahan dia
membuka lembaran pertama dari buku itu, tiba-
tiba dia ingat perkataan Naruto di atap tadi.
'Teme … apakah kau percaya tentang malaikat
dengan hati iblis?'
'Aku hanya bingung dengan buku yang kubaca
ini—'
'—buku ini menceritakan tentang malaikat yang
berhati iblis. Malaikat itu memiliki mata kelam
yang tajam dan tidak punya hati nurani sama
sekali. Bukankah malaikat itu orang yang baik,
Teme?'
"Ck, dasar dobe! Terus kau anggap apa malaikat
pencabut nyawa itu huh? Apakah kau tidak
merasa bahwa malaikat itu tidak mempunyai hati
nurani yang seenaknya saja menyabut nyawa
orang dari tubuhnya dan pergi begitu saja
dengan ekspresi datarnya." Ucapnya—entah
pada siapa, mengingat dia hanya sendirian di
ruangan ini. Sepertinya setelah mengeluarkan
kalimat yang panjang itu membuatnya cukup
lelah. Akhirnya diapun beranjak menuju
kemarnya untuk tidur.
-Rubrum&Niebieski-
'TOK TOK TOK'
Sura ketukan pintu itu membangunkan seorang
pria yang sedang terlelap tidur. Perlahan-lahan
dibukanya matanya dan beralih menuju jam kecil
yang ada di atas meje dekat ranjangnya. 'Jam 2
malam? Siapa yang datang berkunjung pada jam
segini? Ah pasti 'dia' yang datang' batinnya
seraya bangkit untuk membukakan pintu
apartemennya.
Perlahan dibukanya pintu itu dan menampakkan
orang yang sudah cukup dikenalnya.
"Bocchama, maaf mengganggu tidur anda.
Tetapi saya mempunyai denunsiasi yang harus
saya laporkan segera kepada anda, Bocchama."
Dia menatap orang itu sejenak dan mengangguk,
menunggu kelanjutan dari omangan pria
tersebut. "Mereka senang karena Bocchama
sudah menyelesaikan tugas pertama dengan
baik. Kedatangan saya adalah untuk member
tahu korban selanjutnya untuk tugas anda yang
kedua." Ucapnya sambil menyerahkan sebua
poto dan kertas yang berisikan identitas dari
'korban' tersebut. Perlahan matanya membaca
dan menyerap pengertian setip kata yang tertera
di kertas tersebut. Namun, pada saat melihat
poto yang diterimanya tadi, matanya melebar
dengan ekspresi terkejut. Pelayannya yang
merasakan perubahan mimik wajah tersebut
terlihat bingung, "Bocchama, apa ada yang
salah?" tanyanya kearena merasa khawatir
dengan tuan mudanya. Pria itu hanya
menggelengkan kepalanya dan mengembalikan
ekspresi stoic-nya.
"Baiklah, kapan aku harus menyelesaikan tugas
ini?" tanyanya sembari mengalihkan
pandangannya dari poto tadi ke wajah
pelayannya. "hari ke-20, tepatnya pukul 12.20,
Bocchama." Ucapnya seraya membungkukkan
badan. 'cih, enam hari lagi ya' batinnya,
kemudian dia melihat jam tangan yang teepajang
di atas TV-nya. 'tidak, sepertinya lima kurang dari
enam hari, melihat sekarang sudah menunjukkan
pukul 3 lewat' batinnya lagi. Kemudian dia
menghela napas dan mengucapkan terima kasih
kepada pelayannya. Pelayannyapun
membungkukkan diri dan segera hilang dari
pandangannya.
"Gadis cantik yang sombong—"
"—sepertinya hidupmu tidak lebih dari lima hari.
Kuharap kau segera membuat kenangan yang
berharga untukmu daripada kau menyesal. Ku
doakan kau dapat bersenang-senang dengan
hari-hari terakhirmu. Hmm… seperti apa ya hari
kematianmu? Apakah baik-baik saja? Hmm, tapi
melihat sikapmu yang baik diluar dan busuk di
dalam itu—kematianmu nampaknya akan
menyedihkan."
Dia memejamlan matanya sejenak, "Give me
your best and do no ever let me down, oke?"
ucapnya sambil menatap langit kelam yang
bertabur bintang. Saat cahaya bulan menerpa
wajahnya, terlihat jelas seringaian terukir di
wajahnya.
.
.
.
To Be Continued

Sugar Pain

"KRINGGGGGGGGGG!"
Terdengar suara alarm brengsek yang
mengganggu tidur nyenyakku dipagi hari senin
ini. Aku terlonjak dan bangun segera berhambur
menuju kamar mandi yang hanya berjarak
beberapa langkah dari tempat tidurku. Sial. Aku
akan terlambat lagi pagi hari ini, padahal sudah ku
stel alaram sedini dan sekeras mungkin tetapi
mengapa aku tak juga bangun? Aku memang
tuli.
Tak butuh waktu lama, seperempat jam cukup
bagiku untuk mandi dan berdandan, aku berlari
tergesa-gesa sesekali manabrak para maid-ku
yang sedang membawa sesuatu. Derap kakiku
terhenti ketika aku mendengar suara lembut nan
menggoda yang sangat kukenal memanggilku.
"Apa?" bentakku ketus.
"Lihat apa yang kubawa pagi ini!" ucap wanita
yang memanggilku sambil menuding lelaki muda
disampingnya.
"Gigolo baru !" jawabku datar.
"Tak ingin mencicipinya, Sayangku ?"
"Tidak. Aku tak berminat."
"Oh ayolah, sampai kapan kau akan menyimpan
keperawananmu? Menunggu hingga suamimu
menjamahmu? Sok suci!"
"Jangan bicara macam-macam. Dasar pelacur !"
"Lalu kau apa?"
"Anak palacur brengsek darimu."
"Hahahaha… benar kau tak ingin menikmatinya?"
"Tidak, simpan untuk para tante girang malam
nanti atau… gunakan saja service-nya pagi ini."
"Hn', ide bagus. Baiklah, kau layani aku pagi ini.,"
kata ibuku sambil berlalu pergi dari hadapan lelaki
muda tampan itu dan aku.
"Dengan senang hati, Nyonya Tsunade," jawab
lelaki itu sambil berjalan anggun mengikuti ibuku.
Aku kembali berjalan, tetapi sekali lagi suara ibuku
menghentikan langkahku.
"Dia bernama Hatake Kakashi, jika kau ingin
menikmatinya aku bisa memberimu jatah malam
ini."
Busuk.
Aku berlari lagi melewati koridor-koridor
rumahku. Limousine sudah tak sabar
menungguku pagi ini. Ku buka pelan salah satu
pintu mobil itu dan betapa terkejutnya aku ketika
melihat seorang gadis sedang menari-nari
striptease di dalam mobil itu. Hatiku memanas
karena marah, kemarahanku semakin
memuncak ketika aku tahu untuk siapa wanita
jalang itu menari striptease. Untuk adikku. Adikku
yang baru berusia empat belas tahun.
PYARRRR….
Aku pukul kaca jendela mobil limousine milik
keluargaku tak peduli berapapun mahalnya. Si
wanita jalang yang melihat kilatan amarah dari
sorot mataku tertegun dan takut, terlihat dari
seluruh tubuhnya yang bergetar hebat seolah tak
siap dimangsa oleh seorang manusia harimau
yang siap mencabik-cabiknya.
"KELUAR !" teriakku frustasi pada wanita itu.
Si wanita hanya mengangguk sekali dan mulai
memakai bajunya secepat mungkin. Rambut
pirangnya semakin berantakan manakala ia
menjambak frustasi ketika mengetahui beberapa
bajunya hilang entah kemana.
"Keluar sekarang juga atau…." sambungku.
Secepat kilat ia keluar dari mobil, tak peduli
dengan pakaiannya yang sangat sangat mini.
Mataku mengikuti kemana si wanita itu pergi
hingga tubuh polosnya tak terlihat. Tatapanku
kemudian beralih kepada adikku yang kini sedang
sibuk bermain dengan video game di tangannya.
"Konohamaru… kau…" suaraku bergetar, aku
begitu takut membayangkan akan seperti apa
perilaku adik semata wayangku ini setelah melihat
sesuatu yang belum pantas dilihatnya.
"Aku sama sekali tak terangsang, tenang saja."
Jawab Konohamaru.
"Karena aku mencintai Udon, aku tak ingin
mengecewakannya," sambung Konohamaru
beberapa detik selanjutnya.
Hatiku bergetar mendengar pengakuan
Konohamaru, lega tetapi juga merasa miris.
Bagaimana tidak ? Ya, kau lega karena melihat
kekukuhan adikmu yang sama sekali tidak
tergoda pada wanita jalang yang menari-nari
striptease di depannya, tapi kau akan merasa
sakit hati manakala kau tahu jika ia begitu kukuh
karena seseorang yang sama sekali tak pantas ia
cintai.
Sakit rasanya jika aku mengingat kembali jika adik
kesayanganku Konohamaru mencintai sesama
jenisnya, Udon.
Aku duduk diatas kursi mobil limousine ini, sibuk
melamunkan akan hidupku. Hidup yang sangat
buruk sekali, ibuku seorang germo yang suka
menjajakan gigolo kepada para wanita girang di
luar sana, sedangkan adikku sendiri mengalami
kelainan yang jarang terjadi diumurnya yang
baru empat belas tahun, adikku seorang gay.
Lamunanku terhenti ketika kurasakan bibir lembut
menyapu bibirku sendiri dengan penuh kasih
sayang, aku menoleh untuk melihat siapa yang
melakukan ini. Kulihat seorang lelaki berambut
merah dengan mata terpejam mencium bibirku.
"Gaara…" desahku sambil melepas ciumannya.
"French kiss untuk pagi hari ini nona, seperti
biasanya." kata Gaara lembut dan sopan.
Aku memalingkan muka menatap keluar jendela.
Entahlah sepertinya pagi ini aku tak mau
menikmati ciuman Gaara seperti pagi-pagi
lainnya.
"Nona ?" Gaara kembali bertanya untuk meminta
jawaban akan kelanjutan ciumannya yang
sempat tertunda.
"Aku tak mau French kiss pagi ini !" jawabku
setengah membentak.
"Baiklah Nona. Padahal pagi ini anda akan
mencicipi coklat hangat dari bibir saya, karena
minuman penghangat pagi hari ini adalah coklat
leleh."
"Aku kan bisa meminumnya sendiri."
"Tentu. Tapi… maaf ini tak seperti anda biasanya."
"Maksudmu ?"
"Maksud saya, anda terlalu terbiasa menikamati
minuman penghangat dari bibir saya bukan?
Saya tahu anda tak terbiasa minum dari cangkir,
anda terlalu terbiasa minum minuman anda dari
mulut saya, bukan begitu?"
"Memang. Tapi aku tak berminat denganmu pagi
ini. Cepat antarkan aku ke sekolah."
"Baik, nona."
*** Sugar Pain ***
Aku berlari terburu-buru dikoridor yang sangat
panjang sekali pagi ini. Nafasku terengah-engah,
kakiku serasa mati rasa karena aku harus berlari
menaiki tangga hingga lantai enam untuk
mengambil jadwal sekolahku pagi ini di locker-ku
yang ada dilantai enam.
BRAKKK…
Bunyi locker-ku yang aku pukul dengan kedua
telapak tanganku, aku tak lekas membuka locker-
ku, aku butuh pasokan oksigen. Setelah beberapa
detik aku membuka locker-ku dengan amat
tergesa-gesa, hingga beberapa kali aku salah
memutar kode locker-ku yang memang tak
menggunakan kunci tetapi menggunakan kode
angka dengan cara memutar-mutar bulatan
berbentuk tabung dengan sisi-sisinya yang
terdapat huruf.
Klik..
Tanda kode benar dan locker bisa dibuka. Aku
segera meraih kertas yang terdapat dalam locker-
ku, kertas jadwalku pagi ini.
Schedule
Name : Haruno Sakura
Class : X – Einstein
Date : June 23rd 2010
1. Memasak
2. Kalkulus
3. Astronomi
4. Sastra Perancis
5. Sejarah Yunani
6. Melukis
Aku menganga lebar melihat jadwalku pagi hari
ini. Bagaiman tidak? Pelajaran pertama adalah
kelas memasak, salah satu kelas yang aku benci.
Dan parahnya dapur yang merupakan kelas
memasak berada dilantai satu. Berarti aku harus
berlari menuruni tangga dari lantai teratas hingga
lantai terbawa, dan sayangnya sekolah dengan
label dan taraf internasional ini tak mempunyai
lift.
Aku membanting lockerku kasar yang secara
otomatis akan terkunci kembali ketika ditutup dan
berlari lagi menuju lanatai satu.
Aku berlari sepanjang koridor tak peduli dengan
ocehan guru-guru lainnya yang merasa
terganggu dengan suara derap langkah kakiku.
Aku terus beralari hingga aku menabrak
seseorang di depanku ketika aku hendak
menuruni tangga dan hal ini membuat aku dan
seseorang yang aku tabrak tadi jatuh dari tangga
dengan posisi yang sangat tidak elegan. Aku
menindih seseorang itu. Dan dia laki-laki.
Aku terperangah melihat wajah tampannya dan
begitu takjub dengan ekspresi datarnya yang
menonjolkan kesombongannya.
"Bisa kau menyingkir dari atas tubuhku, Nona
Haruno Sakura?" tanyanya dingin.
Aku segera berdiri dan merapikan bajuku yang
sempat kusut dan sangat berantakan. Bahkan aku
juga menyisir rambut panjangku sendiri dengan
jari, salah satu kegiatan yang tak pernah
kulakukan untuk seseorang yang sangat cuek
dalam penampilan sepertiku.
Aku berbalik untuk melihat orang yang tadi
kutabrak yang kini sudah berjalan menaiki tangga
lagi.
"Hei…" panggilku.
"Hn?" jawabnya sambil berhenti melangkah dan
tanpa membalikkan badannya padaku.
"Dasar kau tak punya sopan santun, harusnya
kau menatap orang ketika ada orang yang
mengajakmu bicara!"
"Hn."
"…."
"…."
"Kenapa kau bisa tahu namaku ?" tanyaku.
"Siapa yang tak mengenamu ? Haruno Sakura
kelas X – Einstein, murid terkaya disini dan
sebagai penyangdang dana terbesar. Disegani
karena kekayaannya, dikagumi karena
kecerdasan dan kecantikannya. Sekaligus dibenci
karena keangkuhannya," jelasnya.
"Lalu kau siapa ?" tanyaku ketus merasa
tersinggung dengan kalimat terakhirnya.
"Orang yang tidak penting," jawabnya sambil
melangkahkan kakinya lagi.
"Hei, siapa kau?"
"…"
"Hei!"
"Bukankah saya sudah menjawab, Nona. Saya ini
adalah orang yang tidak penting," jawabnya lagi
masih membelakangiku.
"Maksudku… err~ siapa namamu?"
"Uchiha Sasuke," jawabnya kini sambil memutar
tubuhnya dan menatapku dari atas tangga.
Tubuhnya seolah bersinar terkena pancaran sinar
mentari dari ventilasi, dia begitu terlihat
mempesona apalagi dengan ekspresi datarnya
yang masih terpajang diwajah tampannya.
"Nona Haruno!" bentak seseorang dari
belakangku yang ternyata Sensei Ayame, guru
memasakku.
"Ya?" tanyaku takut.
"Mencoba bolos dikelas memasakku, eh? Kau…
dihukum. Bersihkan dapur sekarang!" katanya
sambil berlalu pergi.
Shit !
Pagi yang indah.
Aku mentap pemuda Uchiha dari bawah tangga
yang kini melihatku seolah berkata rasakan-itu-
perempuan-sombong-! Dan ia berlalu pergi.
Uhhh… wajahku memerah karena malu.
"Uchiha Sasuke, hn, menarik !" kataku.
"Sakuraaaaaaaaa…" teriak sensei Ayame geram.
Sial. Dia akan semakin marah padaku.

Stalk Ghost Stalk

Langit yang terlihat di atas gedung Konoha High
begitu jernih, berwarna biru muda yang polos.
Memang, awan-awan tampaknya sedang tidak
tertarik untuk mengambang di sana, tapi
syukurlah sinar matahari tidak terlalu terik di pagi
ini.
Namun, semua itu bagi seorang Hinata Hyuuga
hanyalah kondisi alam. Sama sekali tidak
membangkitkan mood-nya yang selalu berat
seperti hari-hari biasa.
Sambil memainkan jemari tangan, Hinata yang
sedari tadi berdiri di ujung koridor mulai sedikit
mengangkat wajahnya. Ia pandangi keempat
siswi sekelasnya sedang berdiri menyumpal jalan
masuk menuju kelas.
Satu alasan, ia takut.
Sudah lima menit ia terdiam menunggu orang-
orang itu pergi. Tapi sayang, tampaknya para
gadis penggosip tersebut tidak akan pergi dari
sana dalam jangka waktu yang lama.
Hinata pun merilekskan bahunya yang tegang,
berusaha mengumpulkan keberanian. Kemudian,
ia langkahkan kaki mungilnya menelusuri koridor
lantai dua.
"Pe-Permisi.."
Sontak suara lembut itu menjadi sorotan empat
pasang mata sekaligus. Menyadari tatapan tajam
dari mereka, mental Hinata seakan menciut untuk
meneruskan kalimatnya.
"Maaf, a-aku mau masuk.."
Yang berambut merah muda langsung
mendengus. "Ck, lewat aja apa susahnya, sih?
Ganggu orang aja."
Terbiasa mendengar nada sinis seperti tadi,
masih dengan menunduk Hinata berjalan maju
sambil berbisik. "Te-Terimakasih.."
Tawa dari ketiga yang lainnya mulai menyusul
saat Hinata sudah melewati mereka. Tapi sesaat
Hinata baru saja melewati Ino, secara sengaja
gadis pirang itu menyenggol kasar bahunya, dan
berdesis. "Dasar manusia setan."
Hinata mengigit bibirnya.
Ia memang selalu tidak nyaman apabila ada
seseorang yang menyebutkan julukan nista itu
padanya. Ya, julukan yang sudah menempel erat
sedari awal ia menginjakan kaki di sekolah ini.
"Hei, kenapa dia dikatain 'gadis setan' sih?"
Tenten, si tomboy yang belum tau banyak
tentang Hinata langsung menaikan salah satu
alisnya.
"Kalian tidak tau, eh?" Sakura terkikik geli sebelum
ia melirik ke Hinata yang sudah terduduk di
bangkunya yang paling belakang.
"Katanya dia kan bisa melihat setan. Horror
banget, ya?"
Walaupun terpisah oleh jarak yang lebih dari
sepuluh meter, Hinata masih dapat mendengar
mereka, terutama karena suara Sakura yang
disengajakan kencang untuk membuatnya
tersindir. Dari bangkunya, Hinata hanya bisa
menghirup udara banyak-banyak, lalu ia
hembuskan sampai kedua matanya terpejam.
Mencoba bersabar.
"Mungkin dia tidurnya di kuburan kali ya?"
"Hahahaha..!"
.
.
.
STALK GHOST STALK
"Stalk Ghost Stalk" punya zo
Naruto by Masashi Kishimoto
Inspired from Ghost Whisperer
[NaruHina & NaruSaku & SakuHina]
Crime, Horror, Suspense, Friendship
AU, OOC, Typos, No-Bashing, etc.
.
.
FIRST. Kasus
.
.
Seperti biasa di jam pelajaran sebelum istirahat,
Kakashi-sensei—guru yang seharusnya
mengajarkan sejarah—kembali terlambat masuk.
Entahlah karena apa, yang penting sudah pasti
pria itu telah menyiapkan alasan tidak masuk akal
ke murid didikannya.
Namun, bukannya kesal justru banyak murid
yang bersyukur. Malahan ada yang
mendoakannya agar tidak masuk sehingga
mereka bisa menghabiskan 90 menit ini untuk
mengobrol. Ya, sama seperti keadaan sekarang.
Untuk kelompok para siswi yang paling terkenal
di kelas, topik hari ini yang dimulai Sakura sedikit
berbeda—tentang temannya di dunia maya.
"Iya, aku baru saja kenalan seminggu yang lalu,
dan kami akan ketemuan nanti sepulang
sekolah~"
Tenten merespon dengan tersenyum lebar.
"Hah? Baru kenalan seminggu sudah bisa diajak
ketemuan? Kok bisa deh?"
"Iyadong! Hebatnya lagi dia juga tinggal di
Konoha."
"Wow! Enaknyaa~!"
Karin yang ada di sebelah langsung memotong
dengan wajah berpikir. "Kau yakin dia bukan
orang jahat, Saku..?"
"Tidak mungkin! Wajahnya aja kayak tanpa dosa
gitu kok!"
Ino bergumam sebentar, berpikir sampai
keningnya berkerut. "Ehh, ngomong-ngomong
soal orang asing, kalian tau kasus baru-baru ini,
tidak?"
"Kasus apa?" Sambil bertanya Sakura sedikit
mengamati Hinata dari ekor matanya.
Sebenarnya ia tau bahwa gadis indigo tersebut
dari tadi sudah mendengarkan semua
pembicaraan mereka. Bahkan saking seriusnya
menyimak, wajah Hinata sampai berani
menghadap ke kelompoknya. Tapi kali ini Sakura
membiarkan.
Yah, sekedar pamer betapa serunya mengobrol
bersama teman-teman dibandingkan sendirian
seperti itu.
"Banyak yang merasa kalau mereka di stalk oleh
seseorang.."
Karin mengernyit. "Bukannya itu biasa?"
"Menakutkan tau! Sudah hampir lima puluhan
siswi sekolah kita yang melapor ke guru!"
"Iya, kan bisa aja dia berencana menculik atau
membunuh kita!" Sakura melanjutkan. Namun,
karena sudah merasa risih, akhirnya Sakura
menoleh ke kanan, tepat ke arah Hinata.
"Apa lihat-lihat!"
Dengan tersentak Hinata langsung membuang
muka dan menunduk dalam-dalam.
.
.
~zo : stalk ghost stalk~
.
.
Srek!
Di lain tempat, seseorang pria berumur dua
puluh lima tahun baru saja keluar dari semak-
semak sekolah dengan wajah yang serius.
Bersama langkah pelan, ia sibuk sendiri
menyingkirkan segala macam dedaunan yang
menyangkut di baju maupun helaian pirang
jabriknya.
Setelah merasa dirinya sudah rapih, ia keluarkan
sebuah kamera Canon yang ia lindungi dengan
balutan jaket hijaunya.
"Fuhh.. untung saja kacanya tidak kebaret."
Ia gunakan kain berwarna hijau daun punyanya
untuk mengelap setiap bagian kamera yang ia
sayangi itu dengan benar. Tapi, saking seriusnya
ia sampai tidak menyadari ada seseorang dari
belokan di depan.
Bukh.
Tabrakan tadi memang pelan, dan tidak mungkin
membuat dirinya atau orang yang ia tabrak
menjadi terjatuh ataupun terlempar. Namun
karena kejadian tersebut, kamera miliknya lepas
dari genggaman.
Naruto terbelalak, cepat-cepat ia memeluk si
kamera, tidak peduli akan seorang gadis indigo
yang akan ia hantam keras.
Brukh!
Kali ini mereka benar-benar terjatuh.
"Ah, maaf!" Setelah kameranya—lagi-lagi—
selamat ia langsung menatap kedua lavender
milik Hinata dengan pandangan penuh
kekhawatiran. Gara-gara dia Hinata terjatuh. Ia
pegangi tangan lembut gadis itu, membantunya
agar ia bisa terduduk. "Tadi sakit, ya?"
Lalu sebelum izin dari yang punya, ia tepuki siku
maupun lutut Hinata yang sedikit kotor akibat
permukaan aspal yang menggeseknya.
"..."
Hinata tidak menjawab, ia hanya terdiam sambil
mengamati gerak-gerik pria asing ini yang
membantunya.
Pipi Hinata memerah.
Dia sedang terpana..
Sudah lama sekali tidak ada orang yang pernah
sebaik ini kepadanya. Malahan ia pernah
mengingat kejadian di mana Sasuke, sang idola
di sekolah—yang diberi julukan 'Pangeran' oleh
para siswi—menabraknya, tapi ia pergi begitu
saja tanpa meminta maaf.
Dibandingkan Sasuke, pria yang ia tatap sekarang
sepertinya jauh lebih cocok dipanggil 'Pangeran'.
Benar, kan?
"Kau baik-baik saja?"
Semua kalimat yang dikeluarkannya bagaikan
alunan surga bagi Hinata.
Sangat merdu..
"Bisa berdiri?"
Dan dia.. begitu baik.
"Halo..? Apa kau masih sadar?"
Dengan terkaget Hinata pun sadar atas
lamunannya. "Ti-Tidak ada apa-apa.." Ia segera
menggeleng lemah, lalu berusaha berdiri. "Te-
Terimakasih."
Lalu, tiba-tiba saja seorang siswi yang sekelas
dengannya muncul. Rambutnya merah muda,
dan itu sudah pasti Sakura Haruno.
"Eh, Naru? Kau sedang apa?" Matanya
mengernyit, mengamati Naruto dan Hinata
menggunakan tatapan penuh selidik.
Naruto pun berdiri dengan sebuah senyum lebar.
"Tidak, tadi kami ketabrak sedikit."
Sesudah ia berdiri di sebelah Sakura, dia biarkan
gadis pink itu memeluk tangan kanannya seakan
mereka adalah pasangan kekasih. "Ayo kita
pergi.."
Mata Hinata mengerjap pelan.
Jangan-jangan Naruto adalah pria yang Sakura
kenal dari dunia maya?
Mendadak pikirannya kembali dibuyarkan dengan
menolehnya pria itu lagi ke arahnya yang
terbengong. Naruto tersenyum lucu dan
melambaikan tangannya. "Ohya, sampai
jumpa.."
.
.
~zo : stalk ghost stalk~
.
.
Sesampainya di rumah kediaman Uzumaki,
Sakura tersenyum melihat rumah Naruto yang
jauh lebih bagus dan besar dibanding bayangan
di otaknya. Tapi yang utama tetap tidak meleset;
Naruto memang orang kaya.
Ia bukakan pintu depan yang terlihat berat itu
kepada Sakura, mempersilahkan gadis itu terlebih
dulu masuk. "Maaf kalau berantakan."
Sakura semakin tersenyum melihat banyak
barang mahal yang terpajang di sana. "Tidak
apa."
Lalu ia biarkan Naruto menuntunnya ke dalam
rumah mewah yang bergayakan barat tempo
lalu. Walaupun terisi barang-barang yang
kebanyakan berasal dari kayu coklat dan emas,
tapi tetap saja indah di mata siapapun.
Sesampainya di ruang tamu, Sakura langsung
duduk di sofa berwarna merah.
Sedangkan Naruto masih berdiri malah
menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.
Tampaknya dia sedang gugup. "Hm.. ngomong-
ngomong, untuk apa ya kita ke rumahku?
Kenapa kita tidak ke taman bermain saja?
Rumahku membosankan."
"Aku tidak tau." Sakura menggedikan bahu dan
tersenyum penuh maksud. "Saat kau bilang mau
ke mana, aku hanya bilang mau ke rumahmu,
dan kebetulan kau mengizinkan."
Lalu ia lempar tatapannya ke Naruto yang
menyimak.
"Lagipula, tidak akan ada pria dewasa yang
ngebolehin perempuan ke rumahnya yang
kosong tanpa maksud, kan?"
Memang benar. Di rumah ini memang hanya ada
mereka berdua.
"..."
Naruto yang terdiam langsung menghela nafas.
Kedua sudut bibirnya terangkat. "Aku tidak
mengerti.."
Sakura mendengus geli, tentu saja ia tau pria itu
berpura-pura. "Terserahlah."
Naruto hanya tersenyum ramah lalu mulai
berjalan ke dapur. "Tunggu sebentar di sini,
jangan ke mana-mana. Aku akan membuat
minum."
Setelah Naruto menghilang dari ruang tamu,
dengan bertopang dagu Sakura menjelajahkan
pandangannya ke sekitar rumah.
Semuanya ia perhatikan. Dan ketika ia
menemukan sebuah pajangan yang tampak
dibuat dari berbagai mutiara asli, sebuah cengiran
nakal keluar.
Inilah pria yang ia cari.
Tampan, dan banyak duit.
Oh yaampun, perempuan munafik mana yang
tidak mau bersama pria yang seperti itu?
Sambil tertawa pelan, mendadak tatapannya
terfokus ke tangga yang akan
menghubungkannya ke lantai dua.
Ia pun menegakan kembali punggungnya dan
beranjak dari sofa. Dari pada bosan, lebih baik ia
sekedar sightseeing.
Sakura berjalan ke sana, ia taiki setiap anak
tangga yang akan membawanya ke lantai dua.
Sesampainya di atas, mata emerald gadis itu
terpaku oleh pajangan yang berderet sepanjang
mata memandang. Terlihat dari tanda tangan di
setiap foto, sepertinya itu hasil foto dari kamera
Naruto sendiri.
Tampaknya pria itu mempunyai hobi yang
bagus.
Lalu, perjalanannya menjelajahi lantai dua
terhenti. Karena ada sebuah pintu yang mungkin
adalah kamar Naruto.
Sakura memiringkan kepalanya, sekedar berpikir
akan memilih memasuki kamar itu atau tidak.
Tapi yasudahlah, lagipula pasti Naruto tidak akan
marah padanya ini kok.
Dibukanya pintu kamar lebar-lebar, lalu ia masuki
ruangan gelap yang hanya terisi cahaya sore.
Kamar Naruto besar, tapi terlihat kosong karena
hanya terisi perabotan sebutuhnya—kasur, meja,
lemari dan beberapa game seperti PS 3 dan x-
box.
Ctik.
Setelah Sakura menyalakan saklar lampu, barulah
ia memajukan langkahnya dan berhenti di
tengah-tengah ruangan.
"Hmm.. benar-benar kamar yang sederhana."
Namun, saat ia menoleh ke samping, tepatnya ke
arah meja belajar diletakan. Matanya terbelalak.
"I-Ini..?"
Meja itu memang meja biasa. Ada tumpukan
buku serta berbagai alat tulis yang tersusun
rapih. Tapi bukan semua itu yang membuatnya
kaget, melainkan sesuatu yang tertempel di
tembok senderan meja.
Di sana terdapat banyak, tidak, sangat banyak
sebuah foto yang berukuran kecil.
Ini bukan mengenai banyak atau sedikitnya
jumlah foto yang terpajang, melainkan gambar
yang terpampang.
Semuanya adalah gambar siswi-siswi yang
memakai seragam sekolah Konoha High,
sekolahnya.
Dan kalau lebih diperhatikan, modus objek
fotoannya adalah siswi yang terbilang cantik,
manis, dan seksi.
Maka dari itu, matanya semakin membulat ketika
ia mendekat, tidak percaya atas apa yang dia
lihat.
Semua murid yang ada di foto dengan berbagai
macam ekspresi dan pose. Ada yang sewaktu
dia belajar di kelas, ada yang saat makan, ada
yang saat olahraga, bahkan.. ada juga puluhan
foto tak senonoh.
Seperti sedang berganti baju dan.. mandi?
Sakura tersentak saat ia lihat salah satu gambar
yang tidak enak dipandang itu.
Walaupun hanya terlihat bagian tubuh yang
belakang, sudah dapat dikenali dari rambut dan
juga ukuran tubuhnya..
Itu dirinya sendiri.
Ia ingat, ia ingat benar pernah merasa difoto oleh
seseorang sesudah mata pelajaran renang. Dan
jangan-jangan orang itu adalah.. Naruto?
"A-Apa-apaan ini!" Ia berdesis, tidak kuasa
menahan semua ketekejutan.
Satu kesimpulan, Naruto adalah stalker dari
semua siswi sekolahnya.
Dia.. MANIAK!
"Sakura..?" Dari lantai satu Naruto memanggil.
Sakura tidak kaget, malah ia langsung keluar
kamar, ingin menyamperi pria tersebut dan
segera menamparnya. "Kau di mana, eh?"
Suaranya tampak tenang, tapi..
Ckrek.
Yang tadi.. suara pistol.
Segala keberanian Sakura langsung menciut.
"A-Astaga.." Gumamnya sambil kembali
memundurkan langkah kembali ke kamar. Cepat-
cepat membanting pintu dan menguncinya.
Tanpa perubahan suhu atau apapun, tubuh
Sakura terasa dingin dan berangsur-angsur terus
merinding. Tak ada hal lain yang bisa ia pikirkan
selain tetap diam di dalam kamar.
Tok tok tok.
Ketukan itu nyaris membuatnya menjerit. Air
mata sudah muncul di sudut matanya.
Terdengar kekehan dari luar pintu.
"Sudah kubilang kan, Sakura.." Bisik Naruto, yang
entah kenapa cara bicaranya terdengar sangat
berbeda—seolah-olah baru saja mabuk. "Jangan
pernah ke atas.."
"Tapi karena kau sudah tau rahasiaku.."
BRAKH!
Sakura menjerit merasakan Naruto mulai
mendobrak pintu.
"BUKA!" Pria itu menggeram. "CEPAT BUKA
PINTUNYA, BRENGSEK!"
Kini, jantung Sakura benar-benar berdetak cepat
bagaikan baru saja lari maraton ratusan meter.
Perlahan, dengan kaki gemetar ia melangkah
mundur, salah satu tangannya sibuk menutupi
mulutnya yang menganga. "Kami-sama.."
BRAKH!
BRAKH!
"Aduh.." Semakin kencang dobrakan, ia
meringis. Pandangannya bergerak ke segala
tempat, berharap ada sesuatu yang bisa
menyalamatkannya dari Naruto. Tapi dari seluruh
benda yang ada di kamar, hanya ada satu jalan
keluar.
Jendela.
Tapi tidak mungkin. INI LANTAI DUA!
BRAKH!
"Yaampun.." Ia jambaki helaian merah mudanya.
"Aku harus bagaimana!"
"Buka pintunya, atau.." Lirihan Naruto mendadak
membuatnya terpaku, ia merasakan firasat buruk
tentang ini. "Kita akan bersenang-senang,
sayang?"
DOR!
"KYAAAAA!" Bersama teriakan, Sakura berlari ke
arah jendela.
Persetan dengan sesuatu yang akan melukai kulit
mulusnya, ia bisa mati kalau terus berada di sini!
Selama Naruto masih kesulitan mendorong pintu
karena kunci yang sudah ia pasang, Sakura
mengangkat kaca jendela dan mulai
mengeluarkan kepalanya terlebih dulu dari sana.
Ia tau kalau posisinya salah, tapi mau bagaimana
lagi. Ia sudah kelewat panik.
Jangan tanya kenapa, ini pengalaman terseram
yang pernah ia alami!
BRAKH!
BRAKH!
Suara itu bagaikan Neraka bagi Sakura. Ia
semakin tidak bisa mengontrol dirinya dari
gemetar ketakutan yang menyerang. Bahkan
telapak tangannya malah lemas sesudah ia
menyentuh alas rendah yang merupakan balkon
kecil di luar.
Dengan segenap kemampuan, ia menarik diri.
Berusaha mengeluarkan sisa tubuhnya—dari
perut ke bawah—untuk keluar.
Namun, saat salah satu kakinya sudah keluar dan
ia akan mengeluarkan salah satunya lagi.
GREP!
Salah satu kakinya berhasil di tahan oleh Naruto—
yang nyatanya sudah masuk ke kamar.
"KYAAAAAA! LEPASKAN! LEPASKAAAAAN!"
"Tidak bisa, Sakura. Kau ingat tujuan awal kita
bertemu, bukan? Seharusnya kita bermain
bersama.." Naruto mengeluarkan tawa. Sebuah
tawa yang mampu membuat bulu kuduk Sakura
berdiri.
Tapi tak ada yang bisa Sakura keluarkan selain
jeritan serta umpatan kasar kepada Naruto,
apalagi saat pria itu menarik kakinya dengan
semena-mena—sehingga menyebabkan betis,
tulang kering maupun lututnya tergesek oleh
sesuatu yang membuatnya berdarah.
Setelah menarik setengah dari tubuh Sakura yang
masih tersangkut di luar jendela, Naruto putar
180 derajat posisi gadis tersebut. Kemudian, ia
pegangi paha putih Sakura—sekedar bermain
kesempatan—sehingga ia bisa menarik kencang
tubuh itu sekali lagi.
Sakura tentu saja meronta. Matanya yang sudah
mengeluarkan tangisan terpejam rapat,
tangannya memukul apapun yang ada di sekitar.
Sampai-sampai dia tidak sadar sudah ada
moncong pistol yang mengarah ke dagunya.
"KYAAAAA!"
DOR!
PRANG!
Seusai pecahan kaca jendela berhenti berjatuhan,
cepat-cepat Sakura membuka mata.
Beruntunglah tangannya yang tidak bisa diam
langsung memukul pistol, karena kalau tidak,
mungkin wajahnya akan hancur oleh tembakan
tersebut.
"KAU GILA! LEPASKAN AKU!"
Mendengar teriakan Sakura, akhirnya gerakan
tangan Naruto untuk menarik paksa terhenti.
Awalnya Sakura lega, namun tiba-tiba saja
Naruto meletakan kedua tangan kekarnya ke
jendela, lalu ia menyeringai.
Sakura tentu saja tersentak. Secara tubuhnya
masih tersangkut di jendela. Dan saat ia melihat
ke arah jendela yang ada di atasnya sudah
berujung runcing semua, terbayang perutnyalah
yang akan menjadi sasaran apabila Naruto
menutup jendela. Dan dia.. akan mati.
Sakura terbelalak.
Dan Naruto menyeringai.
"Kau yang memaksaku melakukan ini."
JREG!
"AAAAAHHHHH!"
.
.
~zo : ghost stalk ghost~
.
.
"Iya! Kemarin aku bersumpah ada yang
memfotoku!"
"Ihh, itu menyeramkan banget! Terus kaunya
bagaimana?"
"Aku sih tidak apa-apa, tapi aku takut hasil
fotonya malah jelek!" Salah satu siswi kelasnya
tertawa terbahak-bahak bersama temannya. Tapi
sesudah tawa mereka reda, yang berambut
keriting langsung menoleh ke Hinata yang masih
menyapu di kelas. "Ohya, kami duluan ya!
Jangan bicara sendirian lagi, Hyuuga! Haha!"
Sreek.
Pintu kembali tertutup dan suara obrolan kedua
murid itu semakin redup, meninggalkan Hinata
sendirian di kelas dalam keheningan.
Kenapa Hinata sendirian? Karena dia sedang piket
—membersihkan kelas.
Sebenarnya kalau dilihat dari daftar buatan ketua
kelas, seharusnya bukan Hinata yang ditugaskan
bersih-bersih pada hari ini.
Ada tiga siswa. Tapi semuanya mengatakan
kalau mereka sibuk dan melemparkan segala
tanggungjawabnya ke Hinata seorang.
Tapi walaupun Hinata tau orang-orang itu
berbohong, ia selalu menerima dengan tulus.
Lagipula di rumahnya juga sepi, lebih baik ia
membersihkan kelas—sekedar mengisi
kekosongan saja.
Sreek.
Suara pintu tergeser membuatnya yang tengah
menyapu langsung menoleh. Ia hentikan
kegiatan dan berjalan ke pintu dan sedikit melihat
keadaan luar—mencari tau siapa yang telah
membuka pintu ini.
Tidak ada siapa-siapa di dalam kelas selain
dirinya, dan juga tidak ada siapa-siapa di koridor
lantai dua.
"Yang tadi.. siapa?" Bisiknya berharap ada orang
atau hantu yang menjawabnya.
Ya, Hinata memang bisa melihat juga
berkomunikasi dengan hantu. Bukan karena ia
tinggal di dekat kuburan atau apa, tapi karena
kemampuan yang diturunkan oleh Ibunya.
Namun, nyatanya ia mendapatkan sebuah
jawaban tak terduga.
Sebuah hembusan dingin di daerah lehernya.
Cepat-cepat gadis berambut itu berbalik,
membuat helaian indigonya bergoyang.
Tapi saat ia melihat ke belakang, masih tidak ada
sesuatu yang tampak.
"Hinata.."
Hinata terkaget. Nyaris saja ia kehilangan
keseimbangan saat mendengar suara itu.
Meski ia sudah kenal dengan yang namanya
hantu sejak kecil, ia tetap tidak terbiasa apabila
dikagetkan seperti tadi. Ia senderkan
punggungnya yang lemas ke tembok, lalu ia
eratkan genggamannya ke tongkat sapu yang
masih ia pegang.
Di sudut kelas, lebih tepatnya di daerah paling
pojok kiri terdapat sebuah bayangan, bayangan
hitam setinggi 160 cm.
Dan, lama kelamaan bayangan tersebut semakin
jelas. Menampakan sebuah sosok yang
membuatnya terbelalak.
Hinata mengerjapkan mata, terus memandangi
sesosok gadis yang tampaknya salah satu siswi
sekolahnya.
Normal, tapi siswi itu berdarah di bagian perut.
Namun tidak kelihatan lukanya seperti apa karena
ditutupi seragam putihnya yang berlumur noda
darah.
Semakin ia lihat ke atas, Hinata dapat melihat
tangan hantu itu yang sedikit dipenuhi oleh
baretan benda tajam dan memar.
Dan untuk yang terakhir, ia cukup kaget.
Terutama ketika melihat wajahnya.
Itu Sakura, Sakura Haruno
"Hina.." Siswi yang paling sering berkuasa di
kelas itu menyebut namanya. Dengan pelan, dan
menyeramkan. "Hinata.."
"Tolong.." Lirihnya tanpa tenaga. "Tolong aku!"
Hinata merinding, terutama saat ia mendekat
serta sedikit menjulurkan tangannya.
"TOLONG AKU!"
.
.
TO BE CONTINUED

20/06/12

Kata Bunda

Standard disclaimer applied
Naruto © Kishimoto Masashi 1999
Kata Bunda © Chillianne Erythroxylon 2012
Warning(s): AU, little bit OOC, Sasuke's
POV, typo, misstypo, etc.
Summary: Mikoto X Sasuke. BUKAN Incest.
\Bunda cerewet. Bunda selalu mengomel. Bunda
selalu mengatur ini dan itu. Tapi kata Bunda, itu
semua dilakukannya semata karena beliau
mencintaiku./ RnR? DLDR.
.
I don't need all kinds of flame, but it doesn't
matter if you had given me one of it.
So, I've warned you and it means; you shouldn't
read it if you don't like it.
.
.
.
Saat aku jatuh sakit.
Kala itu, sudah sepekan lamanya aku tidak masuk
sekolah. Hanya hari-hari kesialan —yang
membuat tubuhku semakin tak bergairah yang
menyapaku. Aku hanya bisa terbaring di atas
ranjangku, menatap kosong langit pagi, siang,
senja, dan malam lewat jendela yang terpaku di
seberangku. Rasanya bosan. Sangat bosan. Aku
ingin kembali bebas dan menjalani kehidupan
normalku. Tanpa mau bertemu kembali dengan
typhus sial ini yang menyerangku tanpa sebab.
Bunda masuk ke kamarku tanpa permisi.
Wajahnya yang dingin membuatku semakin
malas 'mencari ribut' dengan beliau. Kata orang
Bunda mirip sekali denganku, namun aku terlihat
lebih kalem dibandingkan dengannya.
Dahiku berkedut saat beliau menarik sebuah kursi
di samping ranjangku, seraya mempertontonkan
semangkuk bubur penuh sayur yang berada di
pangkuannya. Sepertinya makanan menjijikkan
itu tengah tersenyum iblis padaku, dan aku hanya
bisa menelan ludahku ketika 'bertemu pandang'
dengannya.
"Kau harus makan, Sasuke. Supaya cepat
sembuh." Ujar Bunda datar. Beliau mengaduk-
aduk bubur hijau yang membuatku mual itu,
seolah mengoyak tenggorokanku dengan sadis.
"Ti … dak. Aku. Benci. Sayur." Kelitku tajam, keras
kepala. Aku menggeleng, seraya menutup
mulutku dengan kedua tanganku. Persis seperti
balita yang dipaksa makan oleh ibunya. Namun
aku bukan lagi balita, usiaku sudah menginjak
satu dekade, ditambah enam tahun. Enam belas
tahun.
"Harus. Kau ini keras kepala!" Bunda menaruh
mangkuk 'kematian' itu di meja kecil sebelahnya,
lalu menghampiriku. Melepas paksa kedua
tanganku dan menatapku tajam. Mata hitam kami
saling bertemu pandang. Baru kali ini aku melihat
wajah Bunda yang berkali-kali lipat lebih seram
dari yang biasanya. "—kalau kau tidak mau
makan, kau tidak akan pernah sembuh. Sasuke.
Uchiha Sasuke."
"Tapi, Bunda!"
"Jangan melawan! Makan! Bunda suapi di sini,
sekarang!"
—aku yang kesal setengah mati membalikan
badanku memunggungi Bunda. Lalu kembali
menenggelamkan tubuhku di balik selimut tebal.
Aku tak mau sayur. Aku benci. Rasanya aneh.
Aneh. Menjijikkan!
"Sasuke!"
"Tidak!"
Arrrgh! Bunda keras kepala!
Kudengar helaan napas Bunda yang menandakan
keputusasaan. Aku kemudian berbalik, mengintip
Bunda yang tengah menggerutu kecil seraya
memijat dahinya frustasi melalui celah di balik
singkapan selimut. Hatiku bersorak.
"Hah … terserah kau saja. Pokoknya Bunda tak
mau tahu kalau sakitmu semakin parah. Kalau kau
tak mau menuruti perintah Bunda, maka Bunda
akan memotong uang sakumu untuk
selamanya."
Aku terbelalak, kemudian spontan terbangun
dengan posisi duduk tegak. Kuraih mangkuk
berisi bubur yang tengah tertawa kemenangan
itu, lalu menyodorkannya pada Bunda. Tanganku
gemetar, dan Bunda ikut menampangkan seringai
setan.
"Ba-baiklah, aku menuruti Bunda!"
"Nah, itu baru anakku …"
.
Saat itu, aku benar-benar kembali merasa
menjadi seorang bocah ingusan. Yang disuapi
Bunda. Yang menangis tersedu-sedu —saking tak
sudi memakan bubur hijau aneh itu, dengan
ingus yang terburai.
Bunda cerewet. Bunda cerewet. Bunda cerewet!
Hanya itu yang ada di pikiranku. Cerewet!
.
.
.
Saat aku makan …
… makanan yang kusukai.
Ketika sepulang sekolah, perutku menjerit
meminta limpahan berkah. Air liurku menetes
saat kubayangkan sesendok sup tomat yang
masuk melalui mulutku, melumer membasahi
seluruh permukaan lidahku, dan menyapu
tenggorokanku. Rasanya pasti sangat nikmat.
Beruntung saat aku sampai di rumah, Bunda
sudah pulang dari kantornya. Beliau adalah wanita
karir. Semenjak aku lahir sampai sekarang, beliau
berperan sebagai ayah sekaligus ibu yang
menangani semua masalah. Ayah dan ibunya
sudah meninggal, dan Papaku sudah bercerai
dengannya. Memisahkan aku dan kakak laki-
lakiku.
"Bunda, lapar!" teriakku dari arah getabako.
Kemudian aku berlari ke arah dapur, dan
menemukan sosok wanita asing yang tengah
berkutat dengan peralatan masak dan bahan-
bahan bakunya; tomat. "Eh … Bunda? De-demi
apapun, kau …" aku berujar ragu, seraya
menunjuk-nunjuknya.
Dulu rambutnya sepunggung, sekarang …
sebahu? Dan … berponi? (Bunda terlihat seperti
sosok kembaranku.)
"Jangan cerewet! Sana makan! Bunda sudah
menyiapkan sup tomat untukmu di meja,"
ujarnya seraya tersenyum kecil. Aku masih
terbengong menatapnya. Dan seakan mengerti
akan kebingunganku, Bunda kembali bersuara,
"Kenapa? Kau terpukau melihat sosok Bundamu
yang masih cantik di usia tua seperti ini? Yaah …
anak muda zaman sekarang 'kan lebih menyukai
tren model rambut pendek," guraunya.
Membuatku berhasil tertawa renyah.
Terkadang Bunda bisa menjadi teman yang
menyenangkan, bukan begitu?
"Habis ini kau pergi mandi, jangan meminta
Bunda untuk menyiapkan air hangat untukmu
lagi. Kau sudah besar!" omelnya lagi, dan kembali
membuat tawaku berubah menjadi horror. I hate
when how she's being a fussy woman. Sigh ….
"Iya, iya!" aku berkelit kesal dan menghampiri
meja makan. 'Cerewet!' batinku, seraya membuka
tudung saji. Senyumku kembali melebar saat aku
menemukan semangkuk sup tomat yang masih
hangat.
Buru-buru kuambil nasi dengan sendok besar
dari rice cooker yang duduk manis di galar dapur,
menghadap Bunda yang terheran melihatku.
"Untuk apa kau mengambil nasi sebanyak itu?"
tanyanya dengan nada menginterogasi.
"Karena aku lapar, Bunda." Aku menjawabnya
polos.
Bunda kembali mendengus, setelah itu kurasakan
hawa tak enak yang merasuki tubuhku.
"Dengar ya, Sasuke! Makan terlalu banyak itu tidak
baik untuk kesehatanmu! Alangkah baiknya jika
kau makan sebelum lapar dan berhenti sebelum
kenyang! Kekenyangan itu tidak enak, tahu! Kau ini
ceroboh sekali sih!" omelnya seraya menjewer
kupingku kencang. Aku meringis.
"Aduduh! Iya, iya! Bunda cerewet!"
Bunda cerewet! Bunda selalu mengomel!
.
… makanan yang tidak kusukai.
Hari itu aku memprotes Bunda ketika beliau
menjemputku sepulang sekolah. Aku bersungut-
sungut kurang ajar sedang beliau memutar bola
matanya bosan. Aku benci saat Bunda tak
mengacuhkanku.
"Bunda! Kenapa kau tega membekaliku dengan
ramen instan kuah miso? Aku tidak suka!" kelitku
seraya membanting pintu mobil dan
menghempaskan bokongku di jok sebelah
Bunda. Beliau menatapku sebentar, kemudian
menyalakan mesin. Kembali tak mengacuhkanku.
Aku memanyunkan bibirku.
Jika sekarang aku membayangkan kejadian itu,
maka aku baru menyadari kalau; aku anak manja.
"Bundaaa~!" geramku lagi, saat mobil mulai
melaju dan Bunda mengalihkan konsentrasi
penuhnya di jalanan. 'Ya ampun! Kadang cerewet
kadang pendiam! Labil sekali sih Bunda!'
"Jangan banyak protes. Makan saja seadanya,
Sasuke!" katanya kembali bersuara. Aku mendelik.
"Tapi ramen itu menjijikkan! Tidak en—"
Bunda memotong pembicaraanku seraya
mengerem mobilnya saat lampu lalu lintas
menunjukkan warnanya yang merah menyala. Ia
menjewer telingaku lagi dengan keras,
membuatku kembali meringis kesakitan.
"Kau ini! Jangan memaki makanan! Kalau tidak
suka, kautinggalkan saja, atau kauberikan pada
orang lain! Dengar ya, anak manja! Banyak orang
di sana yang memakan makanan tak layak!
Mereka memungut nasi aking, lauk pauk bekas di
tempat sampah, namun mereka tetap
mensyukurinya! Harusnya kau jauh lebih
bersyukur bisa lebih beruntung dari mereka!
Tuhan masih melimpahkan rahmat dan nikmat-
Nya pada kau!" omelnya panjang lebar dengan
suara tinggi. Aku merinding.
Namun dalam hati aku mengutukinya.
'Bunda cerewet! Bisanya hanya mengomel tak
jelas dan tak pernah mau mendengarkan
pendapatku! Ngomel saja sesukamu!'
.
.
.
Saat aku akan hadir ke suatu tempat.
Malam minggu seharusnya menjadi malam
kemerdekaan bagi para anak remaja sepertiku.
Namun kali ini tidak, bahkan aku harus
membatalkan kencanku dengan Sakura —
kekasihku selama setahun ini. Karena dipaksa
Bunda datang ke 'acara penting' miliknya.
Aku bersungut-sungut dan menggerutu saat
mengobrak-abrik lemariku. Kala itu Bunda
memasuki kamarku, tanpa permisi. Membuatku
kaget setengah mati. Walau aku anak
kandungnya, tetap saja aku malu bertelanjang
bulat di hadapannya! Aku bukan bocah lagi.
Lagi, Bunda memakai pakaian formalnya. Poninya
dijepit di atas telinga kanan dan kirinya. Rambut
pendeknya disisir rapi ke belakang, dan beliau
mengenakan bandana hitam. Sekilas terlihat
seperti … Kagamine Rin. Haha. Sayang sekali, Rin
yang satu ini adalah Rin yang sudah uzur, berhati
es dan berwajah garang. (Ups. Kurang ajar.)
"Kau lama sekali sih, Sasuke!" protesnya seraya
memunguti pakaianku yang berserakan di lantai.
Aku mendengus kesal. "Memangnya kau sedang
mencari baju apa? Kemarin Bunda mencuci
beberapa pakaianmu," lanjutnya.
"Aaah! Aku mencari kaos oblongku yang
kemarin, Bunda! Yang bergambarkan bendera
Polandia. Baju itu baru kubeli tiga hari yang lalu
saat EUFA 2012 mulai! Itu sedang trendy dan
booming di kalangan remaja, Bunda!" aku berkata
cerewet, namun tak berhenti mengacak-ngacak
seisi lemari. Membuat Bunda menggeram
semakin kesal.
"Grrh … kau ini dodol sekali, Sasukeee! Ini acara
formal! Bunda akan mengenalkanmu dengan
teman-teman perusahaan nanti! Kelak kau akan
menjadi penerusku di sana. Setidaknya
berpakaianlah dengan rapi dan dan sopan! Bukan
blangsakan seperti preman manja seperti itu!
Lagipula percuma 'kan kalau kau sok macho
tahunya masih belum bisa pisah ranjang sama
Bundamu!" omelnya emosi, panjang, lebar,
padat, dan jelas.
Aku tersindir mendengar kata-kata belakangnya.
Aku … aku memang masih seranjang dengan
Bunda. Walau aku punya kamar sendiri, aku
selalu menyelinap masuk ke kamarnya. (AKU
TIDAK MELAKUKAN 'APA-APA' PADANYA!)
"Bunda cerewet ah! Mengatur ini dan itu, aku
bosan. Aku butuh kebebasan, tahu!" sungutku
seraya memanyunkan bibirku. Dan aku kembali
terkena jeweran mautnya. Kali ini Bunda
memelintir daun telingaku. Aku berteriak tertahan.
"Jangan protes! Itu yang terbaik untukmu, tahu!
Cepat pakai ini!"
—dan beliau melemparkan sebuah kemeja putih
gading, blazer, dan celana panjang hitam ke
wajahku. Aku menatapnya nyalang. Kembali
merutukinya dalam hati setelah wanita garang itu
keluar dari kamarku.
'Bunda cerewet! Bunda selalu mengomel! Bunda
selalu mengatur ini-itu! BUNDA PAYAH!'
.
.
.
Saat beliau sakit.
Ketika itu Bunda terbaring lemah di ranjangnya.
Teman-temanku menjenguk Bunda, mereka
semua berkumpul di kamar Bunda. Aku duduk di
samping Bunda, menggenggam tangannya yang
kala itu terlihat lebih pucat, kurus, dan dingin.
Walau Bunda menyebalkan, aku tak bisa
membencinya. Aku … aku tak bisa …!
"Bunda …" aku berujar serak.
Bayang-bayang buruk menghantui pikiranku. Aku
takut Bunda tak akan pernah menemaniku lagi.
Aku takut Bunda diambil oleh-Nya. Aku takut …
aku tidak siap menjadi anak piatu.
Maka pada saat itu, di hadapan teman-temanku,
aku menangis. Tangisanku sangat konyol.
Membuat mereka tertawa cekikikan dan Bunda
tertawa kecil. Aku tak peduli. Tak peduli dengan
ingusku yang sudah meler membasahi telapak
tanganku sendiri.
"Kau cengeng!" ledek Bundaku seraya menjitak
kepalaku, mengacak-acak poniku yang menutupi
dahiku. Namun setelahnya, beliau meraih
tubuhku, merengkuhnya erat. (Tak keberatan
akan bajunya yang sudah basah dan berwarna
hijau terkena ingusku.)
.
.
.
Bunda cerewet. Bunda selalu mengomel. Bunda
selalu mengatur ini dan itu. Tapi kata Bunda, itu
semua dilakukannya semata karena beliau
mencintaiku.
Aku masih bersyukur memiliki ibu. Karena tanpa
beliau, mungkin sekarang aku menjadi seorang
yang merana. Benar kata orang-orang, 'ibu itu
muncul tiga kali sebelum ayah'. Lantas artinya;
yang harus kita hormati dan sayangi adalah; Ibu,
Ibu, Ibu, baru setelahnya Ayah. (Dan sekarang
aku mengerti maksud pepatah itu.)
Walau menyebalkan, tapi aku sangat menyayangi
Bunda.
Aku mencintaimu, Bunda!
I love you more than anything!
—FIN—

08/06/12

the Baby

Chapter 1, kerusuhan dimulai…
Happy reading^^V

Kukuruuyuukk... itu suara ayam berkokok bukan
suara perut author yang laper. Meski author
memang laper (readers: gak ada yang nanya.
Hikari: *pundung di goa akatsuki*). Ayam
berkokok berarti udah pagi, udah pagi berarti
mataharinya udah bangun, dan –mestinya-
semua makhluk hidup juga bangun.
Namun tidak seperti makhluk normal lainnya, di
sebuah gua reot tempat sekumpulan makhluk
halus nan gaje bersarang *author digorok*,
sedikitpun tak ada tanda-tanda kehidupan.

Tiga jam kemudian setelah penjelasan author
tadi, akhirnya ada juga yang udah bangun.
"Ngeehh, sudah pagi ya un? kaki siapa ini un?"
salah satu makhluk nista yang-author-sendiri-
tidak-tau-apa-gendernya berujar. Deidara berbalik
arah melihat siapakah orang yang seenak
jidatnya memeluk tubuh sexynya *?* pake kaki
pula.
Segaram kuno khas pengkut aliran akatsuki,
chek.
Kaki berkaus kaki kumel, chek.
Rambut item jabrik, chek.
Topeng aneh dengan bentuk lollypop, double
chek.
Twich.
"TOBI AUTHIS NGAPAIN KAMU DI SINI UN?
PAKE MELUK LAGI UN." Deidara murka.
"Oammm… Tobi anak baik, bukan anak autis
senpai..." Tobi yang baru bangun protes. Kakinya
yang masih setia mejeng di pinggang Deidara
dengan posisi kepala di bawah kaki Deidara
keliatan cuek banget dan udah biasa kena sembur
senpai-kesanyangannya- satu ini.
"Bodo amat, sekarang gua tanya ngapain lo di
kamarku un? Keluar un!"
"Oh itu. Ano senpai semalam lampu kamar Tobi
mati. Tobi anak baik takut gelap, jadi Tobi milih
tidurnya bareng senpai aja deh." Tobi innocent.
Kalo aja ini di anime pasti empat siku-siku
berwarna merah udah bersarang di jidat Deidara,
sayangnya ini Cuma fic gaje karya author gaje
pula.
'Hufs, sabar… sabar Deidara, sabarrr...' batin
Deidara mengingat serangan jantungnya yang
bisa kumat kapan saja *author di bom Deidara
karna menyebar fitnah*. " Yaudah sekarang lo
keluar sana un!" Perintah Deidara ketus.
"Tobi anak baik masih ngantuk Senpai, perginya
nanti saja setelah ngantuk Tobi ilang." Tobi
kembali berbaring.
"Ngak bisa un, pokoknya sekarang juga lo harus
keluar un..." Deidara mencak-mencak, "Atau gua
ledakin," kali ini nada bicara Deidara terdengar
mengancam. Tobi nelen ludah, "Se-senpai..."
Tobi ketakutan.
"Apa?"
"Un_nya kelupaan." Jawab Tobi pelan
"Un."
_GUBRAK_
"Udah un, sekarang juga lo keluar un!" Deidara
treak-treak di pintu kamarnya, ia membuka pintu
kamarnya dan menunjuk ke arah luar kamarnya.
"Tobi keluar!"
"Woy berisik tau!" BUAGH, entah emang nasip
Deidara yang apes atau takdirnya lagi di otak-atik
ama Dewa pembawa sial, yang jelas sekarang
Deidara lagi kena dapet bogem mentah dari
sandal tidur Kisame yang berbentuk ikan hiu
mirip si empunya.
"Wuih,senpai hebat. Tepat sasaran, entar ajarin
Tobi ya senpai!" Tobi sumringah. Kisame nyengir
hiu, kepala Deidara makin panas, cocok banget
kalo buat goreng telur(lagi-lagi hiks, author di
bom).
Yah, pokoknya kayak gitulah hari-hari ngak
penting yang dilalui para anggota akatshuki
secara ngak elit setiap pagi menjelang, oh atau…
bisa di bilang siang.
"Bosen un, tiap hari gini-gini mulu." Keluh
Deidara disela-sela sarapan mereka, atau lebih
tepat di sebut sarapan di siang bolong.
"Emang mau lo apaan sih! Banyak amat
maunya." Leader mesum angkat bicara.
Tobi angkat tangan mirip anak teka yang lagi di
absen, "Leader-san, leader-san, Tobi mau
lollypop..." Si authis ngomong. "yang gede!"
imbuhnya antusias.
"Cih, siapa yang nanya ama elo sih 'authis'."
Deidara sewot.
"Hiks.. Hiks, Dei-senpai jahat. huaaaaa..." Tobi
mulai lagi, para Akatshuki pada sweatdrooped
rame-rame.
"Tobi anak baik jangan nangis, nih senpai kasih
uang buat beli topeng lolly baru" Zetsu ngeluarin
uang 50 ribuan. Tobi berhenti nangis dan nyaris
mengambil uang itu, tadi kan author bilang
'nyaris' jadi belum sempat ia pegang secuilpun,
soalnya udah disambar duluan ama Kakuzu.
"Utang lo yang kemarin belum lunas, trus yang
kemarinnya juga belum.. ah yang kemarinnya
lagi juga, dan yang waktu itu..." jari-jari Kakuzu
mulai berfungsi sebagai kalkulator dadakan.
"Perasaan seminggu yang lalu kita Cuma pinjam
5000 doang deh, kok bisa jadi sebanyak itu?"
gumam Zetsu hitam. "Ia, itupun juga Cuma buat
bayar tagihan tinggal di sini." Zetsu putih
nambahin.
"Yaah soalnya setiap pinjaman gue kasih bunga
100% per hari." Kakuzu tertawa nista. Para
akatsuki nelen ludah, kecuali Konan (soalnya
Konan ngak pernah pinjam uang sama Kakuzu
karena udah tau konsekuensinya).
'Waduh 1 bulan yang lalu gue pinjam Rp 50.000
lagi sama ni'orang, berarti...' Pain hampir saja
kena serangan jantung. Tapi dia sengaja masang
muka datar walaupun keliatan banget
sengsaranya.
'Hilang sudah rencanaku buat beli krim anti
keriput.' Itachi mewek gaje dalam ati.
'Hiks... gagal deh beli Barbie baru' Sasori meratapi
nasipnya.
'Tobi anak baik ngak suka ngutang, tapi Cuma
pinjem.' Bahkan dalam keadaan kayak giniun
Tobi masih bisa mikir kayak gitu.
'DUIT.. DUIT.. DUIT..' Kisame pundung sambil
ngubek-ubek air di dekat akuariumnya mirip lagu
jadul yang sering di nyanyiin J*shua, 'di obok-
obok, comberannya di obok-obok'.
'Semoga dewa Janshin mengampunimu Zu.'
Hidan geleng-geleng kepala sambil mainin tasbih
gede di tangannya.
'LEDAKIN KAKUZU!' Deidara berkoar-koar dalam
hati, tangannya udah terkepal erat dengan urat di
sekitar keningnya.
Keadaan meja makan tiba-tiba sepi, Cuma ada
suara jangkrik dan tokek… belang? Hingga
akhirnya...
BRUUGH.. JDWAARRR... PLENTANGG...
GREEAAAKG... Dan suara-suara aneh lainnya.
Para Akatshuki sweatdroop berjamaah.
"Wooy berisik... duh Deidara jangan ledakin
markas kita LAGI." Teriak sang leader, merasa
namanya di singgung Deidara nyolot.
"SUDAH MESUM, BUTA LAGI. NGAK LIAT GUE
DISINI." Deidara treak.
Trus dengan tampang polos(He?) Pain cuman
ber-ooh ria. "Lha, kalo bukan Dei-baka trus siapa
dong?" kayaknya Kisame nyari gara-gara ama
Deidara.
"Weh hiu darat ngomong apa lo barusan?"
Deidara mulai kepancing (Emang ikan?).
"E-eh ngatain gue hiu darat, dasar banci ngak
laku."
"Jyaah.. iwak peyek…iwak peyek.." Deidara
nyanyiin lagu dangdut yang lagi buming-
bumingnya dengan pergelangan tangan
memutar di atas kepala dan kaki yang di naikkan
ke atas meja. (sarap nih bocah#digamar Deidara)
"Gulali basi,"
"keong racun,"
"seniman ancur."
"Berani lo ngatain seni fantastis gue," Ucap
Deidara PD dengan taraf tingkat tinggi, lalu
menggubrak meja makan. "Kalo ia kenapa?"
Kisame menantang, ikut berdiri angkuh.
"sini lo kalo berani!" Deidara menarik lengan baju
persatuan Akatshukinya yang telah di patenkan
oleh Kakuzu sebagai pakaian ramah lingkungan
dan ngak pake biaya besar (ya iyalah, orang usut
punya usut ternyata bahan yang di pake Kakuzu
itu hasil limbah karung bekas yang dia dapet
waktu kerja jadi kuli).
"Lo aja yang kesini!"
"Elo-"
"CUKUP." Pain treak, semua sunyi lagi. "Oke dari
pada kalian ribut, mendingan sekarang kalian cek
apa yang terjadi di luar sana! " perintah Pain
tegas. Dengan tampang merengut keduanya
nurutin perintah sang leader.
"Sanpai, Tobi anak baik mau ikut!" Tobi angkat
tangan dengan wajah ceria di balik topengnya
mirip anak TK. "Ngak usah!" keduanya jawab
dengan nada sangar.
Si aut- eh salah si Tobi langsung lemes,
terdengar desahan "yaah" yang ngak
bersemangat dari Tobi.
Kriiikk… kriiiikk… kriikkk…
"Duh, tuh duo bocah lama amat sih?" gerutu Pain
yang mulai bosan. Gak mendapat respon dari
para bawahannya, Pain tengok kiri –kanan
memastikan keadaan temen-temennya.
TWICH.
Lagi-lagi, author harus bilang kalo aja ini sebuah
anime, maka akan muncul empat siku-siku di
kening Pain. Bayangin aja, sang ketua alias Pain
tengah menghawatirkan *?* kedua bawahannya,
lha… para anggota lainnya malah tengah asik
dengan kesibukan masing masing.
Konan, Kakuzu dan Itachi lagi asik maik kartu.
Tobi dan Sasori malah keenakan main barbie
punyanya Sasori. Kalo Hidan lain lagi, si penganut
agama sesat itu malah lagi khusuk berdoa sambil
bakar kemenyan.
"Woi… sebenarnya gue di anggap apa sih di
sini?" teriak Pain frustasi. Semua Cuma ngeliatin
Pain sebentar dengan tampang polos, trus
kembali ke kegiatan semula seolah ngak ada yang
terjadi. "Okeh, biar gue yang periksa sendiri."
Ujar Pain akhirnya dengan tampang super bete.
"Hati-hati ya leader-san!" ujar Tobi sambil lambai-
lambai gaje.
"Jangan lupa, kalo balik bawain gue kembang
tujuh rupa!" setelah ngomong, Hidan kembali
komat-kamit ngak jelas.
"Yang, aku mau di bawain cemilan ya. Oh ya,
jangan lupa minumannya sekalian!" ujar Konan
dengan suara semanis mungkin tapi masang
muka ngencem yang sukses membuat Pain
nelen ludah.
"Kita juga dong!" Sasori dan Kakuzu treak
bebarengan. "Tapi yang gratisan!" tambah
Kakuzu.
"Kalo Tobi mau_"
"WOI!" teriak Pein makin frustasi.
"Ck, tuh dua mahluk pada kemana sih? Yaoi-an
apa?" ucap Pein malas. Ini-nih ngak enaknya jadi
Leader para akatshuki yang di ragukan
kewarasaannya oleh dinas kesehatan setempat.
Julukannya sih 'Leader.' Tapi, tugasnya malah
beralih dari ketua bertransportasi menjadi upik
abu.
Ngak seberapa jauh dari dapur yang ngak kalah
reot, Pein akhirnya nemuin dua orang yang sejak
tadi di carinya lagi jongkok di bawah kolong meja
dapur mirip orang lagi buang ti*beepp*nja. Ngak
tau lagi ngapain, soalnya ketutup rambut pirang
ngejreng punya Deidara.
"Hoi, kalian lagi ngapa…"
"Sshhtt…" Deidara dan Kisame meletakkan
telunjuknya di dekat bibir meminta Pein untuk
diam.
"Pa…in?" Pein ngeliatin objek yang sejak tadi jadi
pusat perhatian Deidara dan Kisame. "Wo-
woah… anak siapa ini?" teriak Pain yang sukses
ngebuat bayi yang tadi lagi bobok kebangun dan
akhirnya nangis –kenceng banget- sampai
kedengeran anggota lainnya.
"Tuh kan bangun un!" Deidara nutup telinganya
ngak tahan dengerin tangisan sang bayi. "Leader
sih!" tuduh Deidara sambil nunjuk idung Pain
yang penuh pearching.
"K-kok gue?"

"Duh, apaan sih ribut-ribut? Dan, ya tuhan anak
siapa ini?" Konan yang lebih dulu datang semakin
ngebuat suasana tambah rame mirip suporter
bola.
"Ada apa? Ada apa?" yang lain ikutan gabung
sambil histeris. "Gempa ya? Ato Tsunami?"
Goa reot, dapur ancur, keadaan gaduh, Tobi
yang ngak sengaja mecahin patung hasil karya
Deidara yang mencak-mencak karena karyanya
kini berubah jadi pecahan ngak berguna dan..
seorang bayi yang nangis kenceng.
Wah bener-bener bencana nih!
TBC

07/06/12

DUELS of AKATSUKI

Di sebuah rumah megah yang sudah terlihat tua,
hiduplah sekelompok ninja berbakat (dari
hongkong) yang sedang berkumpul di ruang
tengah yang cukup luas, dalam kurung sudah
diporak-porandakan oleh sang Leader dan sang
autis berlebihan. Yah, karena pertarungan mereka
tadi berangsur pada pertengkaran para teman-
temannya yang saling mendukung jagoannya
masing-masing. Pandangan mereka sudah
lumayan kendur dengan arti –ogah ngelemparin
barang-barang dan akhirnya nanti bakal disiksa
oleh Kakuzu- , yah, memang Kakuzu sempat
ngoceh ria saat teman-temannya yang (sangat)
brandalan telah melempar barang-barang
elektronik sekedar mendukung jagoannya
masing-masing.
"Hahahaha ... Leader, jangan coba-coba
melawan Tobi!" kata salah satu anggota Akatsuki
yang memakai topeng oranye. Suasana hening
seketika.
"Aku tidak peduli, yang aku pedulikan adalah
bagaimana cara mengalahkanmu, Anak Baek!"
balas Pein sengit. Manusia di depannya yang
memakai topeng oranye hanya tertawa lepas.
"Kau sudah tahu dari dulu bahwa melawanku
adalah kesalahan terbesarmu, Leader!"
"Sudah kubilang aku tidak peduli," balas Pein lagi.
Para anggota Akatsuki lainnya akhirnya hanya
duduk-duduk males di sofa nungguin
pertarungan dari Pein vs Tobi dengan mata mulai
terpejam sambil menguap, setelah kecapaian
membanting dan melempar barang-barang
elektronik sehingga Kakuzu sempat mengamuk.
Itachi sibuk nyisir rambut pake jemari, Konan
sibuk melipat kertas origami, Hidan masih
dengan ritual anehnya (yang sekarang sedang
memakai bangkai tikus sebagai korbannya),
Deidara udah ngiler, Zetsu masih setia melihat
pertarungan sengit antara Pein dengan Tobi,
Kakuzu sibuk menghitung anggaran yang
dikeluarkan selama seminggu, Sasori sibuk
mengerjakan PR akuitansi yang harus
dikumpulkannya besok (sudah jelas bahwa
Sasori melakukan kesalahan sehingga dia
mendapat PR aneh dari guru killer). Lalu, apa
yang sebenarnya terjadi di sini?
"Hoamm, sampe kapan kalian mau bertarung,
hah?" tanya Hidan yang udah berdiri mau ke
kamarnya. Kakuzu masih sibuk ngehitung
anggaran belanja hari itu, sementara Konan
dengan manisnya sudah berganti tugas -masih
setia duduk di samping Deidara yang udah tidur
dari tadi-, tetapi tetap dengan pekerjaan melipat
origaminya.
"DIEM LU!" tereak Pein dan Tobi bersamaan,
sampai membuat Hidan kalang kabut dan
langsung terdiam tak berani menjawab.
Pein masih sibuk berpikir, bingung dengan apa
yang akan dia lakukan selanjutnya setelah dia
terdesak seperti berada di ujung jurang kematian
yang di bawahnya sudah menunggu magma
cair di neraka. Ooh, ckckck ...
"Gimana nih?" bisik Itachi ke Sasori. Yang ditanya
hanya mengangkat bahu pasrah. "Aku serahkan
semuanya pada Leader. Dia pasti bisa
menghadapi Anak Baek semacam Tobi,"
jawabnya dengan penuh harap, disertai helaan
napas dari semua anggota Akatsuki minus
PeinTobi.
"Gue berani taruhan kalo si Pein mesti kalah!"
sambut Zetsu hitam.
"Yah, sebenernya gue agak bimbang, tapi buat
yang satu ini gue setuju dah sama lu," balas
Zetsu putih pasrah.
"Ok, taruhan berapa nih?" tanya Hidan yang
mulai ikut-ikutan. "Hoi, gue ikut!" tereak manusia
bercadar yang lebih mencintai uang
dibandingkan wanita, yap, dialah Kakuzu.
"Gue taruhan kalo Pein yang bakalan menang.
Dia kan kuat!" kata Sasori membangga-
banggakan si Leader mesum itu. "Gue setuju tuh
un ..." dukung Deidara yang barusan bangun
gara-gara denger Pein dan Tobi yang tereak tadi.
"Gue juga percaya kalo Pein yang bakal
menang," dukung Konan. Yah, sudah diketahui
apa alasannya kenapa dia memilih Pein.
"Yap, jadi gue yang milih Tobi. Loe pilih apa
Dan?"
"Gue pilih Tobi aja deh."
"Gue juga."
"Gue juga."
Nah, sekarang yang memilih Pein adalah Sasori,
Deidara, dan Konan. Sementara yang memilih
Tobi adalah Hidan, Itachi, Zetsu, Kakuzu, dan
Kisame.
"Berani berapa?" tantang Kakuzu.
"5000 yen dah ..." jawab Konan pasrah. Tumben
dia baik mau memberikan 5000 yen. Hahahha ...
"Ok!" sambut Kakuzu senang. Akhirnya gue bisa
dapet uang juga ... batin Kakuzu disertai tawa
laknat darinya.
Nah, sekarang yang dipertanyakan adalah,
kenapa para anggota lain hanya bersikap acuh
sementara percakapan antara sang Leader dan
sang Autis itu terlihat sangat frontal?
Dua buah kubus kecil menggelinding ke tengah-
tengah arena pertarungan. Dan kemudian
berputar-putar lalu ...
"ARRRGHHH!" Pein mengacak-acak rambutnya
dengan garang. "KENAPA HARUS SEPERTI INI?"
dengan terpaksa, Pein maju 4 langkah. Tobi
tersenyum licik sambil ngejilat lolipop-nya (?).
Dan ...
"YEE! Tobi menang lagi! Yee ... Sudah kubilang
kan, Tobi itu bakalan menang walau pun sama
Leader!" sorak Tobi begitu pion milik Pein
berhenti tepat di atas gambar sebuah bangunan
dengan tulisan 'Amerika Serikat'.
"YES! Gue menang taruhan. Hahahha ..." tawa
Kakuzu, menyerobot uang yang lagi dipegang
Konan dengan paksa, membuat satu-satunya
gadis di kelompok Akatsuki itu kecewa berat
dengan kekasihnya. Sasori menghela napas
pelan. "Yah, sekarang gue tau sebabnya kenapa
Tobi gak nolak ditantang main monopoli bareng
Pein," ucap Sasori nafsu. Anggota lain yang
mendukung Pein hanya menghela napas pasrah.
"Mau gimana lagi un, Tobi udah menang un,"
sahut Deidara. Konan mengangguk penuh
KEKECEWAAN.
"Leader janji kan mau beliin Tobi 10 karung
lollipop? Janji kan? Janji kan? Tobi kan anak baik,
Tobi itu anak baik," kata Tobi penuh keceriaan
dengan autis yang berlebihan.
Pein terpaksa mengangguk dan segera
menyerahkan 10 karung lollipop yang sengaja ia
simpan dari dahulu sekedar untuk jaga-jaga (?).
Konan menyerahkan 5000 yen ke Kakuzu de ka
ka yang mendukung Tobi. Sasori dan Deidara
beruntung karena mereka tidak taruhan apapun.
Mereka hanya melihat ke arah dua temannya
yang menjadi 'korban' pemerasan hak asasi
manusia (?).

05/06/12

Forgetable

Chapter 1. Awal Pertemuan
.
Semua yang ia lakukan selalu dianggap salah oleh
orang lain—hanya karena ia berbeda dari orang-
orang di desanya.
Saat ibunya melahirkannya dan saudara
kembarnya, ibunya—Uzumaki Kushina
meninggal dan membuat Kyuubi yang awalnya
ada di dalam tubuhnya berpindah ke dalam
tubuhnya. Semua orang tampak membencinya
karena di dalam tubuhnya terdapat monster
yang menghancurkan desa mereka, sementara
ayahnya tampak seolah tidak perduli dengannya
walaupun tetap tersenyum dan menjaganya dan
lebih memperhatikan saudara kembarnya
ketimbang dirinya.
Walaupun ia memiliki kemampuan akademik
yang tidak kalah—bahkan lebih baik daripada
Naruko, saudara kembarnya, tetapi tetap saja ia
mereka tidak menganggap keberadaannya dan
terus menjauhinya.
"Jangan sok hebat kau monster, kau hanya anak
yang membawa sial untuk Hokage-sama dan
juga Naruko-chan!"
Perkataan itu sudah sering ia dengar, bersamaan
dengan beberapa pukulan bertubi yang diterima
oleh tubuhnya. Beberapa anak tampak
mengepungnya dan tersenyum sinis padanya.
Walaupun banyak orang yang berada di sana,
tidak ada satupun orang yang ingin
menolongnya.
"Ayah dan ibu bilang kita boleh melukainya—
karena di dalam tubuhnya ada monster yang
menyerang desa lima tahun yang lalu!"
'Aku tidak pernah menginginkan monster itu ada
di dalam tubuhku, kenapa mereka terus
melukaiku?' menutup matanya, saat tubuhnya
terkena hantaman dari anak-anak yang
mengganggunya saat itu. Mereka terus
memukuli hingga dihentikan oleh seseorang—
dan itu membuatnya menoleh untuk
mendapatkan Naruko yang berdiri di depannya.
Terkejut karena melihat saudaranya itu tampak
membelanya, baru saja ia akan membuka mulut
untuk berbicara sebelum menemukan tatapan
dingin yang diberikan pada saudaranya kepada
dirinya.
"Ayolah teman-teman, mengganggu Naruto
hanya akan menghabiskan waktu kita saja—
masih banyak yang bisa kita lakukan," terdiam
dan menatap Naruko dengan tatapan tidak
percaya sebelum akhirnya sosok Naruko dan
juga semua anak-anak itu tampak menghilang,
Kekecewaan dan juga kebencian yang dibuat
Naruto semakin hari semakin besar, ia hanya bisa
diam dan mengeratkan kepalan tangannya
sambil mengatur nafasnya. Menyeka darah yang
mengalir di mulutnya dan akan bergerak saat
seseorang tampak mendekat—seorang
perempuan berambut hitam pendek dengan
mata berwarna indigo.
"Ada apa?"
"A—ano, kau berdarah. Ini pakai ini—"
memberikan sebuah sapu tangan berwarna biru
langit, wajah anak perempuan itu tampak
memerah, sementara Naruto tampak terkejut
melihat ada seseorang yang setidaknya perduli
dengannya seperti anak perempuan ini.
"Ah, terima ka—"
"Hinata, apa yang kau lakukan disini!" kali ini anak
laki-laki yang tampak menghampiri anak
perempuan itu dan segera menarik tangannya
menjauh dari Naruto. Anak perempuan itu
tampak bingung dan terkejut sebelum pada
akhirnya membiarkan anak laki-laki itu menarik
tangannya, menjauh dari Naruto.
Menghela nafas panjang, ia berjalan sendirian—
mendengarkan semua bisikan dari orang-orang
yang ada di sekelilingnya bagaimana mereka
seolah tidak tahu kalau suara mereka bisa sampai
ke telinga Naruto.
'Bukankah itu anak dari Yondaime Hokage-sama?'
'Katanya ia yang membuat ibunya meninggal
karena monster yang ada di dalam tubuhnya…'
'Mengerikan—kalau begitu ia adalah monster…'
'Kenapa petinggi desa tidak mengusirnya saja?'
'Kalau saja ia bukan anak dari Hokage-sama—'
Dan semua cemooh yang sudah biasa didengar
oleh Naruto—bahkan sejak ia bisa mengerti
semua hal yang terjadi di sekelilingnya. Ia sudah
biasa mendengar itu—tetapi tentu saja itu masih
membuatnya sakit hati mendengarnya.
Bagaimanapun juga ia adalah anak biasa—berusia
5 tahun yang bahkan biasanya tidak mengerti
bagaimana kerasnya dunia.
Tetapi, tidak untuk Naruto tentunya—karena
cemooh dan juga perilaku yang didapatkannya
sejak berusia 2 tahun itu sudah membuatnya
merasakan tekanan dari penduduk desa.
"Lebih baik makan ramen sa—"
Baru saja akan berjalan menuju ke sebuah
rumah makan ramen yang sudah menjadi
langganannya saat tiba-tiba seseorang—atau
beberapa orang yang memakai jubah hitam
tampak menyergapnya dan menyeretnya.
Walaupun berada di tengah kerumunan, tetapi
tidak ada yang perduli dengan semua yang
terjadi.
Walaupun Naruto berteriak, dan terus meminta
tolong sekalipun.
"Itu—" seorang Jounnin Konoha yang tampak
melihat Naruto sebelum sosok itu menghilang
bersama dengan beberapa orang yang
menyergapnya tampak terkejut. Dengan segera
bergerak lebih cepat—berjalan menuju ke kantor
Konoha, tentu saja untuk memberitahukannya
pada sang Hokage.

DHUAG!
Suara pukulan orang-orang yang mendarat di
tubuh kecil Naruto tampak membuatnya
meringis kesakitan. Mereka memukulnya seolah
tidak tahu kalau yang mereka pukul saat itu
hanyalah anak kecil berusia 5 tahun yang tidak
mengerti apapun. Ia sudah tidak memiliki tenaga
bahkan untuk bergerak sekalipun.
"Kenapa kalian semua terus saja memukuliku?"
suaranya yang tampak lirih terdengar, mencoba
untuk meminta belas kasihan pada beberapa
orang di depannya saat itu. Tetapi mereka hanya
menjawabnya dengan senyuman sinis yang
ditujukan pada Naruto saat itu.
"Salahkan dirimu sendiri—kesalahan terbesarmu
adalah terlahir di dunia ini," dan suara tendangan
yang tampak mengenai ulu hatinya kini
memberikan sakit yang luar biasa di tubuh
kecilnya itu. Kalau saja tidak karena Kyuubi yang
berada di dalam tubuhnya, tentu saja ia sudah
tewas sedari tadi—sedari dulu, "lihat saja—
bahkan, tidak ada yang menolong dan
membawamu kabur dari sini bukan?"
'Kenapa…'
"Bahkan aku bertaruh, ayahmu dan saudaramu
menyesal karena kau terlahir di dunia ini…"
'Aku tahu itu—tetapi kalian fikir aku menginginkan
semua ini? Monster yang ada di dalam tubuhku
ini?'
"Lebih baik kita segera membunuhnya saja, bisa
gawat kalau sampai Konoha benar-benar
memanggil squad untuk menyelamatkan anak
ini," salah seorang dari mereka menoleh kearah
yang lainnya—yang sepertinya tampak seperti
pemimpin mereka.
"Tidak akan ada—bahkan tidak ada orang yang
menginginkan keberadaannya di tempat itu…"
'Ya—memang benar…'
"Lebih baik ia tidak ada di dunia ini—" tersenyum
sinis, menatap Naruto yang membalasnya
dengan tatapan kosong.
'Apakah kau akan menyerah begitu saja?'
'Siapa—'
'Kau tidak selemah ini bocah, kalau tidak
aku tidak akan mungkin bisa bertahan di
dalam tubuhmu ini—'
'Kau—'
'Kalau memang semua orang tidak
membutuhkanmu, kenapa tidak kau buat
mereka meninggalkanmu saja—
meninggalkan dunia ini…'
'Maksudmu?'
'Biarkan aku membantumu menghabisi
mereka—sekaligus untuk membalaskan
dendam pada mereka…'

"Ada apa monster? Kau tidak bisa berkata apapun
lagi?" salah seorang dari mereka memegang
sebuah kunai dan berjalan mendekat untuk
menusukkannya pada Naruto saat itu. Hanya
menunduk dan terdiam, tidak melakukan apapun
hingga saat kunai itu tampak terayun di dekatnya.
"Jangan berani melukainya…"
Suara Naruto dan juga jurus Kawarimi no Jutsu,
semua orang yang ada di sana tampak terkejut
dan menoleh ke sekeliling mereka untuk mencari
dimana Naruto berada.
"Dimana kau!"
Dari balik pohon, tampak sosok Naruto yang
tersenyum dingin dengan raut wajah yang pucat
dan juga mata yang tertutup oleh rambut
kuningnya. Saat kepalanya sedikit mendongak,
mereka semua bisa melihat—dimana mata
birunya tampak berubah menjadi merah darah
saat itu.
"Ka—kau…"
"Sudah cukup lama aku mengurung diri—dan
sekarang saatnya aku sedikit bersenang-
senang…"

"Tadaima!" anak perempuan berambut kuning
panjang yang mirip dengan Naruto itu tampak
berjalan masuk ke dalam rumahnya. Melihat
ayahnya yang tidak biasanya sudah pulang
membuatnya menaikkan sebelah alis dan segera
berjalan sambil melompat dan memeluk tubuh
ayahnya.
"Hei Naru-chan, bagaimana hari ini—apakah kau
bersenang-senang?" Minato yang tadi tidak
mendengar salam dari Naruko tampak
tersenyum dan memeluk anak perempuannya
itu.
"Menyenangkan, aku bermain banyak permainan
—mereka semua tampak baik padaku!"
"Baguslah kalau begitu—" Minato menepuk kepala
anak perempuannya itu dan melihat
sekelilingnya, "—dimana Naruto?"
"Tadi aku sempat bertemu dengannya di taman
—tetapi setelah itu berpisah," Naruko tampak
menggelengkan kepalanya dan menatap ayahnya
bingung. Sementara Minato sendiri tampak
menunjukkan raut cemas di wajahnya sebelum
menggelengkan kepalanya dan tersenyum
sambil bangkit dari tempatnya berada.
"Mungkin sebentar lagi ia akan da—"
"Minato-sensei!" Jounnin yang tadi melihat
penculikan Naruto—pemuda berambut putih
dengan penutup mulut bernama Kakashi Hatake
itu tampak panik dan segera berjalan mendekati
mantan gurunya itu.
"Ada apa Kakashi?"
"Aku melihat beberapa orang yang membawa
Naruto tadi—aku ingin mengejar mereka, tetapi
mereka dengan cepat menghilang begitu saja,"
mendengar perkataan Kakashi, sudah cukup
untuk membuatnya mempercepat langkah dan
mengambil jubah Hokagenya, melangkahkan
kakinya keluar bersama Kakashi.
"Naruko, aku akan kembali sebentar lagi—"
mencoba untuk tersenyum dan menenangkan
Naruko, sebelum menoleh dan menghampiri
Kakashi, "—kirimkan bantuan kelompok Anbu
untuk membantuku mencari Naruto…"
"Baiklah, Minato-sensei…"

Suara nafas yang memburu tampak terdengar—
saat di tengah hutan itu tampak Naruto yang
berdiri dan menatap kosong ke arah tubuh yang
bersimbah darah dan tergeletak begitu saja di
sekelilingnya—tidak bernyawa.
'Hmph—kau memiliki perasaan benci yang
sangat kuat bocah, walaupun usiamu baru 5
tahun…'
"Ini semua salah mereka," tatapannya tampak
kosong dan juga tajam, mengeratkan sebuah
kunai yang berada di tangannya yang bersimbah
darah itu, "kalau saja mereka tidak
memperlakukanku seperti tadi…"
'Heh, sepertinya aku akan menyukaimu
bocah…'
Baru saja Naruto akan menjawab saat suara
langkah seseorang tampak berada di dekatnya.
Menoleh dengan sebuah kunai dan bersiaga
untuk menyerang orang itu, sebuah tepukan
tangan terdengar dari sana. Menunjukkan
seorang pria dengan menggunakan jubah
berwarna hitam tampak menepuk tangannya
dan berjalan mendekat.
Di wajahnya tampak topeng bermotif spiral yang
menutupi seluruh sisi wajahnya kecuali mata
kirinya.
"Siapa kau…"
"Tenang saja—" suaranya tampak santai—
bahkan seperti suara orang yang kekanak-
kanakan. Mata kirinya yang tampak,
menunjukkan sebuah simbol yang diketahui
sebagai sebuah Sharingan yang hanya dimiliki
oleh orang dari klan Uchiha, "—aku kemari bukan
untuk membunuh ataupun menyiksamu…"
Tampak waspada, namun sudah menurunkan
kunai yang tadi sedikit terangkat saat dalam posisi
siaga.
"Lalu, apa yang ingin kau lakukan disini—dan
siapa kau…"
"Aku ingin menawarkan sesuatu padamu—"
walaupun tidak terlihat, tetapi Naruto tahu jika
orang itu tampak tersenyum padanya, "—aku
bisa membuatmu menjadi kuat, dan dengan
begitu kau bisa membalaskan semua dendammu
pada orang-orang yang sudah melukaimu…"

"Apakah kau menginginkan sesuatu?"
"Aku hanya ingin—saat kau kembali ke desamu
ini kau bisa menghancurkannya, untukku—
membantuku untuk menguasai dunia Shinobi
ini," tatapan sharingannya tampak dingin
menatap sang anak kecil itu. Walaupun usianya
masih 5 tahun, ia sudah bisa mengerti apa yang
dikatakan oleh pria itu, "aku tahu tentang Kyuubi
di tubuhmu, dan aku akan mengajarimu cara
untuk mengendalikannya…"
"Kenapa kau melakukan ini?"
"Karena aku—tertarik akan kekuatanmu, mereka
akan menyesal karena sudah menyia-nyiakanmu
seperti ini," mengulurkan tangannya kearah anak
laki-laki itu—kearah Naruto, "bagaimana? Lagipula
—tidak ada yang perduli padamu bukan? Tidak
ada hingga sekarang—aku orang satu-satunya
yang perduli padamu…"

"Kau tidak ingin membalas semua yang dilakukan
oleh mereka—semua yang seharusnya tidak kau
dapatkan," Naruto tampak menundukkan
kepalanya sejenak, tidak mengatakan apapun,
"bahkan saat kau membutuhkan bantuan seperti
sekarang—atau saat kau meminta tolong di
depan mereka, tidak ada satu orangpun yang
menolongmu. Termasuk ayahmu dan juga
saudaramu…"
Mengeratkan kepalan tangannya, menutup
matanya sejenak sebelum membukanya dan
menatap dingin dan tajam kearah pria yang ada
di depannya saat itu. Menerima uluran
tangannya, membuat pria itu tersenyum puas
pada Naruto. Menepuk kepala anak itu pelan,
tampak tersenyum ke arahnya.
"Mulai sekarang—akulah keluargamu satu-
satunya," membuka sedikit topengnya, hanya
menunjukkan sebagian wajahnya pada sisi kiri,
"namaku adalah Uchiha Madara—cukup itu yang
kau tahu untuk saat ini…"

To Be Continue

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | SharePoint Demo